secukupnya

Setelah cukup lama merasa baik-baik saja, ada saja kesempatan Tuhan membuat gue harus merasakan hal yang selama ini ternyata gue hindari. Kadang gue berpikir luka gue sudah sembuh, tapi ternyata selama ini gue menyimpannya jauh lebih dalam dari sekedar rasa sedih atau benci yang ada.

Ternyata selama ini gue merasa kecewa dan gue menutupinya dengan omongan orang bahwa gue terlalu perasa dan sering bikin drama. Hal kecil, jadi masalah. Hal besar, malah kadang nggak jadi salah. Gue jadi membiasakan diri gue untuk tidak merasakan apa-apa... Karena merasakan sesuatu kini jadi seperti dosa di masyarakat.

Oh iya, karena tidak merasakan apa-apa juga gue cutting off banyak banget orang. Gue merasa sudah lelah menyayangi seseorang dan akhirnya disia-siakan. Ada orang-orang yang dengan tulus sayang sama gue malah nggak terlihat karena gue sibuk dengan orang-orang brengsek itu.

Orang yang bahkan nggak anggep gue pernah ada di kehidupannya. Sialan.

Tapi ternyata, tidak merasakan apa-apa bukan berarti gue sudah sembuh dan memaafkan keadaan. Hal itu malah jadi bumerang untuk gue sendiri karena sewaktu-waktu gue akan meledak dan semakin tidak bisa disembuhkan.

Jadi di fase ini gue membuat diri gue menaruh prioritas utamanya adalah dirinya sendiri. Gue harus bahagiain diri gue. Gue harus membiarkan diri gue merasa kecewa dan nggak usah ngerasa aneh dengan hal itu. Tapi segalanya biarkan dirasakan secukupnya. Dibagikan secukupnya. Diperjuangkan secukupnya.

Sudahlah, nggak perlu berusaha banget-banget.

Dunia kadang emang brengsek, yang diusahakan malah nggak tahu diri. Sudahlah. Secukupnya saja. Diri sendiri juga butuh perhatian, nggak melulu tentang membahagiakan orang supaya kita dapat balasan baik. Sudah, urus diri sendiri dulu.

Haaah...

Nggak nyangka, di usiaku ke 22 tahun aku harus melalui masa-masa seperti ini. Masa di mana aku merasa tidak berharga dan memperjuangkan orang yang tidak menghargaiku... Padahal harusnya aku tahu, aku pantas mendapatkan yang lebih baik daripada itu.