If This Was a Movie chapter 13

Grey, kamu tahu? Aku menulis chapter 13 ini dalam waktu 2 jam dan 9 halaman. 
Dari halaman 63 sampai... 72. Angka kesukaan kamu kan? :}

***

                Jam di tangan Maddi kini sudah menunjukkan pukul 10 malam. Pukul 11 semua murid Sinathrya harus sudah dalam bus menuju Bandara. Entah mengapa, 4 hari yang Maddi lalui kali ini benar benar membuat perasaannya campur aduk. Actually, tidak benar benar 4 hari full karena tanggal 29 malam mereka baru memulai perjalanannya dan tanggal 3 malam mereka baru akan pulang ke Indonesia.
                Study Tour kali ini merupakan salah satu perjalanan yang meninggalkan kenangan yang berharga bagi Maddi. Selain bisa belajar, mengenal budaya Singapura, bertemu banyak orang baru, berwisata dan berbelanja, Maddi juga memulai perpindahan hati yang sebenarnya. Ia berpindah dari Adam menuju Greyson.
                Sejujurnya, hatinya menjerit ketika mengetahui Mackenzie menjadi pacar Adam dan Greyson yang membujuk Adam supaya secepatnya menyatakan cintanya. Tidak seharusnya ia merasa seperti ini. Bukannya ia sudah berpindah pada Greyson? Bukannya ia sudah melupakan Adam?
                Sambil melihat bintang bintang, Maddi mulai menyadari bahwa seharusnya ia memang tidak merasakan hal ini lagi. Adam Young bukanlah lelaki yang harus Maddi tunggu dan perjuangkan lagi. Kini Greyson Chance lah yang seharusnya Maddi fikirkan. Tapi kenapa masih sulit untuk melupakan Adam? Bukankah diantara mereka tidak pernah ada pernyataan saling suka? Jadi kenapa sesulit ini hati Maddi melepaskan bayangan Adam?
                Maddi harus segera merubah pemikiran hatinya. Adam kini hanya sahabatnya.
                Bukan orang yang dicintainya.
                “Duh, kau melamun terus!” seru Adam. Maddi yang kaget tak sengaja menjatuhkan iPhone nya. Adam tertawa lalu meraih iPhone itu. “Kamu ini careless sekali…”
                “Kenapa harus ngagetin gitu sih Dam, astaga!”
                “Hahaha habis kau melamun. Belum memasukkan koper?”
                “Belum…. Kau sendiri?”
                “Aku menunggu Kenzie, hehehe.” kata Adam sambil cengegesan. Shit, okey calm down Maddi. Jangan berfikir hal hal aneh lagi. Adam sahabatmu dan Mackenzie pacarnya dan itu semua wajar!
                “Oh okey, I get the point. You’ve girlfriend now! And I’m not.”
                Adam tertawa. “Duh, sebentar lagi kau juga akan mendapatkan pendampingmu, Madd..”
                “Ah, aku tidak yakin.” kata Maddi pelan.
                “Kenapa? Aku yakin Greyson menyukaimu juga!”
                “Sebenarnya.. Akupun merasa begitu, tapi sampai saat ini ia tak kunjung memberikan signal lebih lanjut. Aku harus bagaimana, Dam?”
                “Kau mau bicara padanya?”
                “DON’T BE SO CARELESS! Aku tak mungkin melakukan itu!” seru Maddi.
                “Lalu mau bagaimana lagi? Kau kan tahu sendiri Greyson bukanlah tipikal laki laki yang  blak blakan seperti aku dan Cameron. Ia terkesan tertutup…”
                “Haruskah aku menunggu?”
                “Jadi selama ini kau tidak menunggu?” tanya Adam heran.
                “Duh, kenapa kau jadi tolol begini…”
                “Hahaha maaf bercanda. Anyway, kau ingat tidak kalo Vald menyukai Grey juga?” tanya Adam dengan nada enteng. Maddi langsung bangun dari duduknya dan menggebrak meja disampingnya. Ia benar benar baru teringat tentang hal itu.
                “ASTAGA! AKU SAMPAI LUPA HAL ITU.”
                “Ya ampun Madd jangan berlebihan seperti itu…”
                “Aduh Adam! Aku sudah berjalan terlalu jauh tanpa memikirkan sahabatku yang menyukai Grey juga. Bagaimana ini? Aduh Adam…”
                “Ya mau bagaimana lagi. Memangnya kau mau moving?”
                Maddi terdiam sejenak, duduk kembali lalu menggeleng. “Tidak…”
                “Ya sudah, kau perjuangkan saja!”
                “Bukannya itu berarti aku mengkhianati Vald, Dam?”
                “Sebenarnya secara teknis, tidak. Kau tidak pernah berjanji untuk tidak menyukai Grey kan? Tapi mungkin secara moral, iya. Masa kau menyukai orang yang disukai oleh sahabatmu. Gak lucu kan?”
                Maddi menarik nafas lagi. “Kenapa sih Vald yang terlebih dahulu menyukai Grey….”
                “Dasar tolol, tidak perlu sedih seperti ini. Perasaan itu datang tiba tiba. Siapa yang bisa mencegah coba? Lagian pada kenyataannya kau menyukai Grey dengan seiring berjalannya waktu kan bukan karena kau memang menargetkan untuk menyukai dia?”
                “Iya sih, Dam.. Tapi kalau Vald tau, pasti Vald marah…”
                “Marah? Kenapa dia harus marah? Logikanya gini deh, Madd. Misalnya Vald membeli baju baru, lalu tanpa sengaja ketika kamu berjalan, kamu menemukan baju yang sama dan lama kelamaan setelah kamu lihat kamu suka dan kamu membelinya. Apakah Vald harus marah? Siapa yang bisa mengendalikan nafsu dan keinginan seseorang selain dirinya sendiri?”
                “Berarti aku yang tolol Dam, aku yang tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.”
                “Bukannya kamu yang bilang ketika kamu jatuh cinta, bahkan perbedaan agama sekalipun tidak bisa menghentikan perasaanmu? Ketika kamu teramat mencintai seseorang, bahkan dirimu sendiri sudah tidak kau perdulikan?”
                “Aduh…. Aku tidak mau kehilangan sahabatku…”
                “Kau tidak akan kehilangan Vald, bodoh.”
                “Tapi kalau sampai dia menjauhiku bagaimana Dam? Aku tidak mau…”
                “Dengar, kalau kau mau mendapatkan Greyson dan tidak dijauhi oleh Vald, kau harus bicara empat mata dengan Vald dan bicara jujur.”
                “Aduh kau ini, mendapatkan Greyson bagaimana ceritanya? Dia tidak menyukaiku!”
                “Apa sih kau ini, kau cantik Madd. Kau baik dan kau cewek yang paling dekat dengan Greyson sekarang. Aku percaya Grey juga menyukaimu…”
                “Tapi aku tidak, ini begitu samar. Dia selalu tarik ulur. Mengesalkan.”
                “Kau mau kepastian?”
                “Siapa yang tidak mau kepastian? Dia tidak pernah memberiku kepastian.”
                “Kepastian itu di perjuangkan bukan datang tiba tiba, Madd…” kata Adam lirih. Maddi menunduk, air matanya mulai menggenang. Ia tidak suka dalam posisi seperti ini. Semuanya terasa menggantung untuk Maddi. Semuanya tidak pasti.
                “Apa… Kau pernah merasakan hal yang sama, Dam?”
                “Apa maksudmu?”
                “Ya… Itu. Dalam keadaan tanpa kepastian seperti ini.” kata Maddi lirih. Perut Adam mengerang kesakitan, rasanya seperti ia barusan di tonjok oleh Maddi sekuat tenaga. Ia lagi lagi teringat pada perasaan lamanya yang ingin sekali ia buang. Ia mendesah lalu mengangguk.
                “Kapan? Dengan siapa? Bagaimana cara kau menyikapinya?”
                “Astaga! Kau ini ya tidak sabaran..”
                “Habis aku benar benar bingung, Dam..” kata Maddi dengan air mata yang mulai jatuh ke pipinya. Adam mengusap kepala ‘sahabat’nya itu. “Aduh Maddi, jangan seperti anak kecil begini dong. Kayak baru sekali saja mengalami hal seperti ini.”
                Maddi mengangguk, “iya memang baru kali ini…” Maddi memang tidak pernah merasakan keadaan dimana tidak ada kepastian dan sahabatnya menyukai orang yang sama dengannya. Dulu ia menghadapi hal ini satu satu, entah tanpa kepastian atau dengan sahabatnya. Ia tidak pernah mengalami kedua hal itu bersamaan.
                “Kau dulu bisa survive dari masalahmu dengan Seth, masalahmu saat Carerina juga menyukai mantanmu yang waktu itu. Kenapa sekarang tidak?”
                “Karena keduanya begitu berharga untukku. Aku tidak bisa memilih salah satunya…” kata Maddi sambil menangis. Adam menarik nafas panjang lalu tersenyum kecil. “Kau bisa memilih dan tidak kehilangan kedua duanya kok, Madd…”
                “Bagaimana caranya? Itu mustahil!”
                “Siapa bilang? Aku juga pernah dihadapkan dalam keadaan seperti itu. Tanpa kepastian diantara dua gadis yang aku sayangi dan sama sama berarti untukku. Akhirnya aku memilih salah satunya dan yang satunya lagi tetap bahagia karena aku tau dia akan segera mendapatkan pasangannya dan melupakanku. Walaupun aku tidak bisa membahagiakan keduanya, tapi setidaknya aku tau setelah aku pergi dan melepaskannya, dia akan tetap bahagia walau bukan bersamaku…”
                Mata Adam menerawang jauh, ia bertanya tanya apakah Maddi menyadari bahwa kedua gadis itu adalah ia dan Mackenzie? Sementara Maddi sendiri hatinya mendadak kacau lagi, ia kini sadar Adam tau bahwa Maddi menyukai Adam. Tapi anehnya dia tidak merasa kaget ataupun kecewa karena Adam lebih memilih Mackenzie.
                Ia tahu Adam melakukan itu untuk menyelamatkan keduanya. Ia tahu Adam melihat Maddi ada peluang pada Greyson sedangkan Mackenzie tidak punya perasaan pada siapapun selain pada Adam. Ia tahu Adam begitu menyayanginya dan tidak ingin melukainya.
                Entah kenapa Maddi merasa mungkin jika tidak ada pembicaraan ini hatinya tidak akan bisa melupakan perasaannya pada Adam sekalipun jika nanti Greyson ada disisinya. Dengan begini, Maddi pun paham dan bisa benar benar mengunci ruangan Adam.
                Ini semua memudahkan hati Maddi yang sudah terlanjur patah untuk kembali sembuh. Ia harus merelakan Adam dengan Mackenzie seperti Adam yang merelakan Maddi untuk pergi ke hati Greyson. Tapi ia sendiri masih belum yakin, apakah perasaannya pada Adam itu dibalas atau tidak.
                “Hei, melamun lagi! Hapus air matamu!” seru Adam. Maddi terkekeh lalu menghapusnya. Ia tiba tiba berfikir untuk menanyakan kepastiannya pada Adam. Tapi jika Maddi melakukan hal itu secara frontal, ia dan Adam akan canggung satu sama lain, dan Maddi tidak mau hal itu terjadi.
                “Dam… Apakah kau mencintai gadis itu?” tanya Maddi pelan. Adam menoleh lalu memandang Maddi heran. “Gadis yang satunya? Iya, aku sangat mencintainya…” jawab Adam. Maddi menelan ludah. Ya Tuhan ternyata selama ini perasaanku dibalas oleh Adam!
                “Lalu apakah kau tahu dia juga mencintaimu?” tanya Maddi lagi. Adam tersentak. Ia merasakan wajah Maddi yang berubah serius dan ia tahu apa arti dari mimik tersebut, Maddi sudah sadar gadis yang satu lagi itu adalah dia. Ya Tuhan gawat! Apa salah ku? Kenapa pembicaraan kami sampai ke topik ini? Ya Tuhan jangan jauhkan Maddi dariku…
                “Ugh… Iya.”
                Maddi menelan ludahnya lagi. “Kau tahu dari mana?” tanyanya. Adam menarik nafas panjang. Ya, ini saatnya Maddi tahu semuanya. Supaya semuanya jelas, supaya semuanya tidak menggantung lagi. Adam tersenyum kecil, “dari Megan dan dari matanya…”
                Maddi tersentak. “Megan Quinka?”
                “Iya, dia mengetahui gadis itu menyukaiku dan ia juga –entah tahu atau hanya merasa, kalau cowok yang gadis itu sukai juga menyukainya.”
                “Wow, amazing.” jawab Maddi dengan wajah tak percaya.
                “Ya seperti itulah. Megan juga yang tahu dari awal aku menyukai gadis itu.”
                “Apa kau.. Masih mencintai gadis itu?”
                “Entahlah, yang jelas aku masih cemburu melihat dia dengan cowok yang ia sukai.” kata Adam enteng. Tiba tiba ia tersadar apa yang telah ia katakana berhasil membuat pipinya dan Maddi memerah bersamaan. Ia mendesah. “Yang jelas aku sangat senang karena aku bisa memilih dan tidak kehilangan dua duanya, Madd..”
                “Mengapa kau tidak memilih gadis itu?” tanya Maddi penasaran. Hatinya dari tadi dagdigdug tak karuan. Kepastian dari Adam hari ini benar benar membuatnya merasa senang, sedih, kagum namun tak ada rasa kecewa.
                “Hatiku yang memilih, Madd dan hatiku tak salah.”
                “Aduh kau mendadak dewasa hahaha.” komentar Maddi dengan  tawa canggungnya.
                “Hahaha begitulah.. Anyway, Madd… Kira kira kalau kau jadi gadis itu dan mengetahui hal yang sebenarnya bagaimana?” tanya Adam penasaran. Adam dan Maddi saling berpandangan canggung.
                “Pasti aku sangat lega mengetahuinya dan bisa melepaskannya lebih mudah.”
                Adam tersentak. “Apakah.. Kau akan sedih jika tahu cowok itu memilih gadis lain?”
                “Pasti aku sangat sedih, Dam. Kau tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa kepastian tapi tiba tiba dia memilih gadis lain? Aku yakin pasti sangat sulit untuk melupakan cowok itu.” kata Maddi sambil tersenyum. Dalam hati Adam kini bersyukur, dengan adanya pembicaraan ini, Maddi akan lebih mudah melepaskan perasaannya, sama seperti dirinya. Dan apa yang telah ia lakukan tak sia sia.
                “Lalu bagaimana perasaanmu jika tahu cowok itu juga sebenarnya membalas cintamu?’
                Maddi menarik nafas lalu tersenyum kecil. “Mungkin akan ada rasa sakit, marah dan kecewa yang terasa jika cowok itu tidak menjelaskan apa maksudnya memilih orang lain daripada aku. Dengan adanya kepastian seperti ini, aku pasti merasa lega.”
                “Bisakah kau melupakan cowok itu?” tanya Adam.
                “Apakah kau akan melupakan cewek itu?” tanya Maddi.
                “Tidak, aku tidak akan melupakannya.”
                “Begitupun aku. Mungkin aku hanya menutup ruangan yang pernah aku berikan untuknya.”
                “Akupun begitu, pasti. Tapi aku tidak akan melupakannya. Aku akan terus menemaninya sampai kapanpun. Aku akan membahagiakannya dengan caraku. Walaupun aku tidak bisa memilikinya…”
                Maddi tersenyum kecil mendengar kata kata Adam. Kini ia semakin yakin untuk berjalan maju melupakan Adam. Kepastian sudah ada dan tak ada lagi yang harus ia tunggu. Adam akan bahagia dengan Mackenzie dan kini saatnya ia mencari kebahagiaannya sendiri. Ia harus menemukan jalan menuju hati Greyson dan ia tahu ia pasti menemukannya.
                “Apa kau akan terus menyayanginya dan tidak akan meninggalkannya meski kau sudah punya kekasih, Dam?” tanya Maddi memecah keheningan.
                “Pertanyaan bodoh. Pasti aku akan selalu menyayanginya dan tidak akan meninggalkannya.”
                “Kenapa kau tidak bersamanya saja sih jika kau mencintainya?”
                “Cinta itu tidak selalu harus memiliki Madd hahaha.” jawab Adam sambil tertawa.
                “Hahaha alasan klasik, tapi aku suka.”
                “Dan cinta itu bahagia melihat orang yang dicintai bahagia…” kata Adam lirih. Maddi tersenyum lalu menatap Adam dalam dalam. “Aku setuju dengan kata katamu.” Adam tertawa lalu mengusap usap rambut Maddi. “Jadi kau sudah mengerti apa yang  harus kau lakukan?” tanya Adam pelan.
                “Sudah kok. Tapi…..”
                Adam menatap Maddi heran. “Kenapa, Madd?”
                “Apa Adam bahagia?” tanya Maddi pelan. Adam tersentak kaget. Ia menatap Maddi dan tersadar gadis itu bertanya seperti itu karena kata katanya tadi. Akhirnya ia mengangguk lalu tersenyum.
                “Iya, aku bahagia. Apa kau bahagia?” tanyanya. Maddi tertawa lalu mengangguk.
                “Iya, aku bahagia dan sedang dalam perjalanan menuju hati cowok yang kusukai.”
                “Hahaha kudoakan kau bahagia bersamanya.”
                “Terima kasih, kau juga harus bahagia dengannya ya!” seru Maddi.
                “Thanks, Madd. Amin, pasti!”
                Maddi tertawa lalu beranjak bangun dan meraih kopernya. “Hahaha, aku harus segera ke bus nih.. Megan pasti mencariku.” kata Maddi. Adam pun bangun dan mengeluarkan iPhone nya dari saku celananya. “Oh iya, aku juga harus menjemput Mackenzie!”
                “Oke, anyway Dam.. Bisakah kau doakan supaya gadis itu cepat melupakanmu dan mendapatkan cowok yang ia sukai?”
                “Pasti aku doakan. Tapi aku tidak ingin dia melupakanku, aku hanya ingin dia melupakan perasaannya padaku!”
                “Bagus! Kau doakan terus yaa!”
                “Hahaha kau juga doakan aku supaya aku bisa melupakan perasaanku padanya, Madd!”
                “Aduh, itu sudah pasti hahaha.”
                “Oke, ini pasti akan mempermudah jalan menuju perpindahanku dan dia pada orang lain.”
                “Semoga saja.. Aku pergi ya, sampai jumpa!” seru Maddi sambil melambaikan tangannya. Adam melambaikan tangannya lalu tersenyum, “ya sampai jumpa, Maddi!” serunya. Maddi berjalan perlahan sambil tersenyum. Hatinya lebih tenang sekarang daripada beberapa jam yang lalu.
                Baginya, sudah sangat cukup melihat Adam bahagia. Tapi akan lebih cukup lagi jika ia mengetahui kepastian hati Adam padanya dan mengapa Adam lebih memilih Mackenzie. Ia tidak menyesal Adam tidak memilihnya, ia malah bahagia pernah mencintai dan dicintai oleh Adam walaupun mereka tak pernah saling memiliki.
                Namun langkah Maddi terhenti, sepertinya kepastian itu belum begitu pasti karena baik Maddi maupun Adam belum mengatakan siapa nama ‘gadis’ dan ‘cowok yang disukai gadis itu’. Maddi berbalik lalu berteriak. “Adam!” serunya. Adam ternyata masih berdiri disitu sambil sibuk mengetik. Ia lalu melihat Maddi, “apa, Madd?”
                “Siapa nama gadis dan cowoknya itu? Aku ingin tahu secantik apa sih cewek yang kau sukai!” seru Maddi. Adam menggeleng lalu tertawa. “Kau mau tahu?” tanya Adam dengan nada menggoda.
                “Iya! Aku penasaran!”
                Adam tersenyum kecil. “Pasangan masa depan, Maddi Jane dan Greyson Chance.”
                Maddi tertawa mendengar kata ‘pasangan masa depan’ yang Adam ucapkan. Ia lalu mengangguk angguk. “Pasti gadis itu cantik!” seru Maddi. “Astaga, sok tahu kau! Cewek itu mungil dan butuh kepastian hahaha.” kata Adam.
                “Hahaha sialan kau! Aku pasti mendapatkan kepastian itu dari Greyson!”
                “Segitu yakinnya? Hahahaha.”
                “Iya! Hahaha. Anyway, terima kasih ya, Dam.” kata Maddi dengan suara melembut.
                Adam menatap Maddi heran. “Untuk apa?”
                “Untuk kepastiannya.” kata Maddi sambil tersenyum lebar. Adam tertawa lalu melambaikan tangannya. “Sama sama, ayo cepat ke bus!” seru Adam. Maddi mengangguk lalu menggeret kopernya secepat mungkin.
                Hatinya yang beberapa jam lalu dipatahkan oleh Adam, kini di satukan lagi oleh Adam. Dan Maddi tahu, mulai sekarang, hatinya sudah bisa melepas Adam. Hatinya sudah memilih dan ia tahu pasti, pilihannya pasti jatuh pada cowok yang sedang menunggunya di depan pintu bus sambil tersenyum manis padanya.
***
                “Ayo duduk.” kata Greyson saat ia akhirnya menemukan kursinya dan Maddi. Mereka mendapat kursi dekat jendela dan duduk berdua. Maddi tersenyum kecil lalu mengangguk. Jantungnya berdegup kencang. Selama 2 jam kedepan ia akan duduk disamping Greyson Chance, orang yang ia sukai.
                Greyson dan Maddi mengobrol banyak hal mulai dari keluarga, pelajaran, cita cita dan banyak lagi. Bagi Maddi, Greyson adalah pendengar yang baik. Bagi Greyson, Maddi itu cewek yang cerewet namun cerita ceritanya selalu asyik untuk didengar. Ketika yang lain tidur, Maddi dan Greyson masih saja mengobrol panjang lebar.
                “Jadi Ibu dan Ayahmu di Amerika toh…” kata Maddi sambil memainkan iTouch nya.
                “Iya… Kadang aku yang menengok mereka kesana. Sekitar 3 bulan sekali.”
                “Lalu kenapa tidak di Amerika saja? Kan disana lebih  bagus, Grey..”
                “Hahaha nanti kalo gak ada, Maddinya kangen.” kata Greyson sambil tertawa. Pipi Maddi memerah. “Itu bercanda, serius, atau sedang menggombal?” tanya Maddi sambil tertawa.
                “Duh bagaimana ya hahahaha.”
                “Anyway, bolehkah aku memanggilmu Greys?” tanya Maddi. Greyson memang dipanggil Greys di lingkungan keluarganya. Greyson mengangguk lelu tersenyum. “Terserah kau, yang penting namaku tidak diganti hahaha.”
                “Okey, Greys!” seru Maddi sambil tertawa.
                Maddi dan Greyson terus mengobrol tak ada hentinya. Namun Maddi tiba tiba terdiam ketika melihat ke depannya, Mackenzie yang duduk bersama Adam sedang tertawa bersama. Maddi menatapnya dengan tatapan sedih bercampur senang.
                Greyson yang tadinya berniat untuk membahas hubungannya dengan Maddi, tiba tiba mengurungkan niatnya ketika melihat Maddi. Ia tidak mengerti kenapa Maddi selalu mundur satu langkah ketika Greyson sudah maju beberapa langkah. Lalu kapan hati mereka akan bertemu?
                Greyson menatap keluar, langit begitu gelap pekat. Ia tidak ingin Maddi menyukai Adam lagi. Maddi sudah hampir berada ditangannya, kenapa lagi lagi Maddi menjauh ketika Greyson mendekat? Ia mengepalkan tangannya, wajahnya begitu kesal.
                Maddi menoleh ke arah Greyson. “Kau kenapa diam saja Greys?” tanya Maddi sambil tersenyum. “Tidak.” jawab Greyson cuek. Maddi tersentak. Apa yang terjadi pada Greyson?
                “Kau kenapa sih?” tanya Maddi. Ia melihat tangan Greyson yang menepal lalu menggenggamnya. Greyson langsung menepis tangan Maddi lalu melihat Maddi. Wajah Maddi langsung bermimik kaget bercampur kecewa. Matanya mulai berkaca kaca.
                “Kau.. Kau kenapa selalu mundur satu langkah ketika aku sudah maju beberapa langkah?” tanya Greyson kesal. Maddi menatap Greyson dengan mata yang berkaca kaca. “Apa maksudmu?”
                Greyson mengepalkan tangannya lagi. “Tolong, jangan seperti ini. Aku tidak bisa.”
                “Apanya yang tidak bisa sih?”
                “Kau selalu baik sama aku. Kau selalu lembut. Kau selalu membuat aku berfikir lebih jauh.”
                “Astaga ada apa ini Greys?”
                “Kau.. Kau kenapa membuatku bertanya tanya begini sih?”
                “Astaga, Greys…. Ada apa sih?”
                “Kau.. Kenapa kau begini ke aku kalau kau…”
                “Aku kenapa? Ada apa denganku?”
                “Ah, jujur sajalah! Maddi masih menyukai Adam kan?” tanya Greyson dengan nada suara yang naik satu oktaf. Matanya menatap Maddi kesal. Maddi langsung terdiam. Hatinya berdegup kencang, ia tersenyum lebar. Doa Adam sebentar lagi terkabul.

                Kepastian akan datang padanya secepatnya, mungkin tanpa perlu ia perjuangkan.



To be continued....

2 komentar:

  1. Ceritamu menarik sekali kakak, butuh waktu semaleman akunya menyelesaikan artikel "If This Was a Movie".

    Salam Persahablogan

    BalasHapus

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.