If This Was a Movie chapter 13
Grey, kamu tahu? Aku menulis chapter 13 ini dalam waktu 2 jam dan 9 halaman.
Dari halaman 63 sampai... 72. Angka kesukaan kamu kan? :}
***
Jam di tangan Maddi kini sudah menunjukkan pukul 10 malam. Pukul
11 semua murid Sinathrya harus sudah dalam bus menuju Bandara. Entah mengapa, 4
hari yang Maddi lalui kali ini benar benar membuat perasaannya campur aduk. Actually, tidak benar benar 4 hari full karena tanggal 29 malam mereka
baru memulai perjalanannya dan tanggal 3 malam mereka baru akan pulang ke
Indonesia.
Study Tour
kali ini merupakan salah satu perjalanan yang meninggalkan kenangan yang
berharga bagi Maddi. Selain bisa belajar, mengenal budaya Singapura, bertemu
banyak orang baru, berwisata dan berbelanja, Maddi juga memulai perpindahan
hati yang sebenarnya. Ia berpindah dari Adam menuju Greyson.
Sejujurnya,
hatinya menjerit ketika mengetahui Mackenzie menjadi pacar Adam dan Greyson
yang membujuk Adam supaya secepatnya menyatakan cintanya. Tidak seharusnya ia
merasa seperti ini. Bukannya ia sudah berpindah pada Greyson? Bukannya ia sudah
melupakan Adam?
Sambil
melihat bintang bintang, Maddi mulai menyadari bahwa seharusnya ia memang tidak
merasakan hal ini lagi. Adam Young bukanlah lelaki yang harus Maddi tunggu dan
perjuangkan lagi. Kini Greyson Chance lah yang seharusnya Maddi fikirkan. Tapi
kenapa masih sulit untuk melupakan Adam? Bukankah diantara mereka tidak pernah
ada pernyataan saling suka? Jadi kenapa sesulit ini hati Maddi melepaskan
bayangan Adam?
Maddi harus
segera merubah pemikiran hatinya. Adam kini hanya sahabatnya.
Bukan orang
yang dicintainya.
“Duh, kau
melamun terus!” seru Adam. Maddi yang kaget tak sengaja menjatuhkan iPhone nya.
Adam tertawa lalu meraih iPhone itu. “Kamu ini careless sekali…”
“Kenapa harus
ngagetin gitu sih Dam, astaga!”
“Hahaha habis
kau melamun. Belum memasukkan koper?”
“Belum…. Kau
sendiri?”
“Aku menunggu
Kenzie, hehehe.” kata Adam sambil cengegesan. Shit, okey calm down Maddi. Jangan berfikir hal hal aneh lagi. Adam
sahabatmu dan Mackenzie pacarnya dan itu semua wajar!
“Oh okey, I
get the point. You’ve girlfriend now! And I’m not.”
Adam tertawa.
“Duh, sebentar lagi kau juga akan mendapatkan pendampingmu, Madd..”
“Ah, aku
tidak yakin.” kata Maddi pelan.
“Kenapa? Aku
yakin Greyson menyukaimu juga!”
“Sebenarnya..
Akupun merasa begitu, tapi sampai saat ini ia tak kunjung memberikan signal
lebih lanjut. Aku harus bagaimana, Dam?”
“Kau mau
bicara padanya?”
“DON’T BE SO
CARELESS! Aku tak mungkin melakukan itu!” seru Maddi.
“Lalu mau
bagaimana lagi? Kau kan tahu sendiri Greyson bukanlah tipikal laki laki
yang blak blakan seperti aku dan
Cameron. Ia terkesan tertutup…”
“Haruskah aku
menunggu?”
“Jadi selama
ini kau tidak menunggu?” tanya Adam heran.
“Duh, kenapa
kau jadi tolol begini…”
“Hahaha maaf
bercanda. Anyway, kau ingat tidak kalo Vald menyukai Grey juga?” tanya Adam
dengan nada enteng. Maddi langsung bangun dari duduknya dan menggebrak meja
disampingnya. Ia benar benar baru teringat tentang hal itu.
“ASTAGA! AKU
SAMPAI LUPA HAL ITU.”
“Ya ampun
Madd jangan berlebihan seperti itu…”
“Aduh Adam!
Aku sudah berjalan terlalu jauh tanpa memikirkan sahabatku yang menyukai Grey
juga. Bagaimana ini? Aduh Adam…”
“Ya mau
bagaimana lagi. Memangnya kau mau moving?”
Maddi terdiam
sejenak, duduk kembali lalu menggeleng. “Tidak…”
“Ya sudah,
kau perjuangkan saja!”
“Bukannya itu
berarti aku mengkhianati Vald, Dam?”
“Sebenarnya
secara teknis, tidak. Kau tidak pernah berjanji untuk tidak menyukai Grey kan? Tapi
mungkin secara moral, iya. Masa kau menyukai orang yang disukai oleh sahabatmu.
Gak lucu kan?”
Maddi menarik
nafas lagi. “Kenapa sih Vald yang terlebih dahulu menyukai Grey….”
“Dasar tolol,
tidak perlu sedih seperti ini. Perasaan itu datang tiba tiba. Siapa yang bisa
mencegah coba? Lagian pada kenyataannya kau menyukai Grey dengan seiring
berjalannya waktu kan bukan karena kau memang menargetkan untuk menyukai dia?”
“Iya sih,
Dam.. Tapi kalau Vald tau, pasti Vald marah…”
“Marah?
Kenapa dia harus marah? Logikanya gini deh, Madd. Misalnya Vald membeli baju
baru, lalu tanpa sengaja ketika kamu berjalan, kamu menemukan baju yang sama
dan lama kelamaan setelah kamu lihat kamu suka dan kamu membelinya. Apakah Vald
harus marah? Siapa yang bisa mengendalikan nafsu dan keinginan seseorang selain
dirinya sendiri?”
“Berarti aku
yang tolol Dam, aku yang tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.”
“Bukannya
kamu yang bilang ketika kamu jatuh cinta, bahkan perbedaan agama sekalipun
tidak bisa menghentikan perasaanmu? Ketika kamu teramat mencintai seseorang,
bahkan dirimu sendiri sudah tidak kau perdulikan?”
“Aduh…. Aku
tidak mau kehilangan sahabatku…”
“Kau tidak
akan kehilangan Vald, bodoh.”
“Tapi kalau
sampai dia menjauhiku bagaimana Dam? Aku tidak mau…”
“Dengar,
kalau kau mau mendapatkan Greyson dan tidak dijauhi oleh Vald, kau harus bicara
empat mata dengan Vald dan bicara jujur.”
“Aduh kau
ini, mendapatkan Greyson bagaimana ceritanya? Dia tidak menyukaiku!”
“Apa sih kau
ini, kau cantik Madd. Kau baik dan kau cewek yang paling dekat dengan Greyson
sekarang. Aku percaya Grey juga menyukaimu…”
“Tapi aku
tidak, ini begitu samar. Dia selalu tarik ulur. Mengesalkan.”
“Kau mau
kepastian?”
“Siapa yang
tidak mau kepastian? Dia tidak pernah memberiku kepastian.”
“Kepastian
itu di perjuangkan bukan datang tiba tiba, Madd…” kata Adam lirih. Maddi
menunduk, air matanya mulai menggenang. Ia tidak suka dalam posisi seperti ini.
Semuanya terasa menggantung untuk Maddi. Semuanya tidak pasti.
“Apa… Kau
pernah merasakan hal yang sama, Dam?”
“Apa
maksudmu?”
“Ya… Itu.
Dalam keadaan tanpa kepastian seperti ini.” kata Maddi lirih. Perut Adam
mengerang kesakitan, rasanya seperti ia barusan di tonjok oleh Maddi sekuat
tenaga. Ia lagi lagi teringat pada perasaan lamanya yang ingin sekali ia buang.
Ia mendesah lalu mengangguk.
“Kapan?
Dengan siapa? Bagaimana cara kau menyikapinya?”
“Astaga! Kau
ini ya tidak sabaran..”
“Habis aku
benar benar bingung, Dam..” kata Maddi dengan air mata yang mulai jatuh ke
pipinya. Adam mengusap kepala ‘sahabat’nya itu. “Aduh Maddi, jangan seperti
anak kecil begini dong. Kayak baru sekali saja mengalami hal seperti ini.”
Maddi
mengangguk, “iya memang baru kali ini…” Maddi memang tidak pernah merasakan
keadaan dimana tidak ada kepastian dan sahabatnya menyukai orang yang sama
dengannya. Dulu ia menghadapi hal ini satu satu, entah tanpa kepastian atau
dengan sahabatnya. Ia tidak pernah mengalami kedua hal itu bersamaan.
“Kau dulu
bisa survive dari masalahmu dengan Seth, masalahmu saat Carerina juga menyukai
mantanmu yang waktu itu. Kenapa sekarang tidak?”
“Karena
keduanya begitu berharga untukku. Aku tidak bisa memilih salah satunya…” kata
Maddi sambil menangis. Adam menarik nafas panjang lalu tersenyum kecil. “Kau
bisa memilih dan tidak kehilangan kedua duanya kok, Madd…”
“Bagaimana
caranya? Itu mustahil!”
“Siapa
bilang? Aku juga pernah dihadapkan dalam keadaan seperti itu. Tanpa kepastian
diantara dua gadis yang aku sayangi dan sama sama berarti untukku. Akhirnya aku
memilih salah satunya dan yang satunya lagi tetap bahagia karena aku tau dia
akan segera mendapatkan pasangannya dan melupakanku. Walaupun aku tidak bisa
membahagiakan keduanya, tapi setidaknya aku tau setelah aku pergi dan
melepaskannya, dia akan tetap bahagia walau bukan bersamaku…”
Mata Adam
menerawang jauh, ia bertanya tanya apakah Maddi menyadari bahwa kedua gadis itu
adalah ia dan Mackenzie? Sementara Maddi sendiri hatinya mendadak kacau lagi,
ia kini sadar Adam tau bahwa Maddi menyukai Adam. Tapi anehnya dia tidak merasa
kaget ataupun kecewa karena Adam lebih memilih Mackenzie.
Ia tahu Adam
melakukan itu untuk menyelamatkan keduanya. Ia tahu Adam melihat Maddi ada
peluang pada Greyson sedangkan Mackenzie tidak punya perasaan pada siapapun
selain pada Adam. Ia tahu Adam begitu menyayanginya dan tidak ingin melukainya.
Entah kenapa
Maddi merasa mungkin jika tidak ada pembicaraan ini hatinya tidak akan bisa
melupakan perasaannya pada Adam sekalipun jika nanti Greyson ada disisinya.
Dengan begini, Maddi pun paham dan bisa benar benar mengunci ruangan Adam.
Ini semua
memudahkan hati Maddi yang sudah terlanjur patah untuk kembali sembuh. Ia harus
merelakan Adam dengan Mackenzie seperti Adam yang merelakan Maddi untuk pergi
ke hati Greyson. Tapi ia sendiri masih belum yakin, apakah perasaannya pada
Adam itu dibalas atau tidak.
“Hei, melamun
lagi! Hapus air matamu!” seru Adam. Maddi terkekeh lalu menghapusnya. Ia tiba
tiba berfikir untuk menanyakan kepastiannya pada Adam. Tapi jika Maddi
melakukan hal itu secara frontal, ia dan Adam akan canggung satu sama lain, dan
Maddi tidak mau hal itu terjadi.
“Dam… Apakah
kau mencintai gadis itu?” tanya Maddi pelan. Adam menoleh lalu memandang Maddi
heran. “Gadis yang satunya? Iya, aku sangat mencintainya…” jawab Adam. Maddi
menelan ludah. Ya Tuhan ternyata selama
ini perasaanku dibalas oleh Adam!
“Lalu apakah
kau tahu dia juga mencintaimu?” tanya Maddi lagi. Adam tersentak. Ia merasakan
wajah Maddi yang berubah serius dan ia tahu apa arti dari mimik tersebut, Maddi
sudah sadar gadis yang satu lagi itu adalah dia. Ya Tuhan gawat! Apa salah ku? Kenapa pembicaraan kami sampai ke topik
ini? Ya Tuhan jangan jauhkan Maddi dariku…
“Ugh… Iya.”
Maddi menelan
ludahnya lagi. “Kau tahu dari mana?” tanyanya. Adam menarik nafas panjang. Ya,
ini saatnya Maddi tahu semuanya. Supaya semuanya jelas, supaya semuanya tidak
menggantung lagi. Adam tersenyum kecil, “dari Megan dan dari matanya…”
Maddi
tersentak. “Megan Quinka?”
“Iya, dia
mengetahui gadis itu menyukaiku dan ia juga –entah tahu atau hanya merasa,
kalau cowok yang gadis itu sukai juga menyukainya.”
“Wow,
amazing.” jawab Maddi dengan wajah tak percaya.
“Ya seperti
itulah. Megan juga yang tahu dari awal aku menyukai gadis itu.”
“Apa kau..
Masih mencintai gadis itu?”
“Entahlah,
yang jelas aku masih cemburu melihat dia dengan cowok yang ia sukai.” kata Adam
enteng. Tiba tiba ia tersadar apa yang telah ia katakana berhasil membuat
pipinya dan Maddi memerah bersamaan. Ia mendesah. “Yang jelas aku sangat senang
karena aku bisa memilih dan tidak kehilangan dua duanya, Madd..”
“Mengapa kau
tidak memilih gadis itu?” tanya Maddi penasaran. Hatinya dari tadi dagdigdug
tak karuan. Kepastian dari Adam hari ini benar benar membuatnya merasa senang,
sedih, kagum namun tak ada rasa kecewa.
“Hatiku yang
memilih, Madd dan hatiku tak salah.”
“Aduh kau
mendadak dewasa hahaha.” komentar Maddi dengan
tawa canggungnya.
“Hahaha
begitulah.. Anyway, Madd… Kira kira kalau kau jadi gadis itu dan mengetahui hal
yang sebenarnya bagaimana?” tanya Adam penasaran. Adam dan Maddi saling
berpandangan canggung.
“Pasti aku
sangat lega mengetahuinya dan bisa melepaskannya lebih mudah.”
Adam tersentak.
“Apakah.. Kau akan sedih jika tahu cowok itu memilih gadis lain?”
“Pasti aku
sangat sedih, Dam. Kau tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa
kepastian tapi tiba tiba dia memilih gadis lain? Aku yakin pasti sangat sulit
untuk melupakan cowok itu.” kata Maddi sambil tersenyum. Dalam hati Adam kini
bersyukur, dengan adanya pembicaraan ini, Maddi akan lebih mudah melepaskan
perasaannya, sama seperti dirinya. Dan apa yang telah ia lakukan tak sia sia.
“Lalu
bagaimana perasaanmu jika tahu cowok itu juga sebenarnya membalas cintamu?’
Maddi menarik
nafas lalu tersenyum kecil. “Mungkin akan ada rasa sakit, marah dan kecewa yang
terasa jika cowok itu tidak menjelaskan apa maksudnya memilih orang lain
daripada aku. Dengan adanya kepastian seperti ini, aku pasti merasa lega.”
“Bisakah kau
melupakan cowok itu?” tanya Adam.
“Apakah kau
akan melupakan cewek itu?” tanya Maddi.
“Tidak, aku
tidak akan melupakannya.”
“Begitupun
aku. Mungkin aku hanya menutup ruangan yang pernah aku berikan untuknya.”
“Akupun
begitu, pasti. Tapi aku tidak akan melupakannya. Aku akan terus menemaninya
sampai kapanpun. Aku akan membahagiakannya dengan caraku. Walaupun aku tidak
bisa memilikinya…”
Maddi
tersenyum kecil mendengar kata kata Adam. Kini ia semakin yakin untuk berjalan
maju melupakan Adam. Kepastian sudah ada dan tak ada lagi yang harus ia tunggu.
Adam akan bahagia dengan Mackenzie dan kini saatnya ia mencari kebahagiaannya
sendiri. Ia harus menemukan jalan menuju hati Greyson dan ia tahu ia pasti
menemukannya.
“Apa kau akan
terus menyayanginya dan tidak akan meninggalkannya meski kau sudah punya
kekasih, Dam?” tanya Maddi memecah keheningan.
“Pertanyaan
bodoh. Pasti aku akan selalu menyayanginya dan tidak akan meninggalkannya.”
“Kenapa kau
tidak bersamanya saja sih jika kau mencintainya?”
“Cinta itu
tidak selalu harus memiliki Madd hahaha.” jawab Adam sambil tertawa.
“Hahaha
alasan klasik, tapi aku suka.”
“Dan cinta
itu bahagia melihat orang yang dicintai bahagia…” kata Adam lirih. Maddi
tersenyum lalu menatap Adam dalam dalam. “Aku setuju dengan kata katamu.” Adam
tertawa lalu mengusap usap rambut Maddi. “Jadi kau sudah mengerti apa yang harus kau lakukan?” tanya Adam pelan.
“Sudah kok.
Tapi…..”
Adam menatap
Maddi heran. “Kenapa, Madd?”
“Apa Adam
bahagia?” tanya Maddi pelan. Adam tersentak kaget. Ia menatap Maddi dan
tersadar gadis itu bertanya seperti itu karena kata katanya tadi. Akhirnya ia
mengangguk lalu tersenyum.
“Iya, aku
bahagia. Apa kau bahagia?” tanyanya. Maddi tertawa lalu mengangguk.
“Iya, aku bahagia
dan sedang dalam perjalanan menuju hati cowok yang kusukai.”
“Hahaha
kudoakan kau bahagia bersamanya.”
“Terima
kasih, kau juga harus bahagia dengannya ya!” seru Maddi.
“Thanks,
Madd. Amin, pasti!”
Maddi tertawa
lalu beranjak bangun dan meraih kopernya. “Hahaha, aku harus segera ke bus
nih.. Megan pasti mencariku.” kata Maddi. Adam pun bangun dan mengeluarkan
iPhone nya dari saku celananya. “Oh iya, aku juga harus menjemput Mackenzie!”
“Oke, anyway
Dam.. Bisakah kau doakan supaya gadis itu cepat melupakanmu dan mendapatkan
cowok yang ia sukai?”
“Pasti aku
doakan. Tapi aku tidak ingin dia melupakanku, aku hanya ingin dia melupakan
perasaannya padaku!”
“Bagus! Kau
doakan terus yaa!”
“Hahaha kau
juga doakan aku supaya aku bisa melupakan perasaanku padanya, Madd!”
“Aduh, itu
sudah pasti hahaha.”
“Oke, ini
pasti akan mempermudah jalan menuju perpindahanku dan dia pada orang lain.”
“Semoga
saja.. Aku pergi ya, sampai jumpa!” seru Maddi sambil melambaikan tangannya.
Adam melambaikan tangannya lalu tersenyum, “ya sampai jumpa, Maddi!” serunya.
Maddi berjalan perlahan sambil tersenyum. Hatinya lebih tenang sekarang
daripada beberapa jam yang lalu.
Baginya,
sudah sangat cukup melihat Adam bahagia. Tapi akan lebih cukup lagi jika ia
mengetahui kepastian hati Adam padanya dan mengapa Adam lebih memilih
Mackenzie. Ia tidak menyesal Adam tidak memilihnya, ia malah bahagia pernah
mencintai dan dicintai oleh Adam walaupun mereka tak pernah saling memiliki.
Namun langkah
Maddi terhenti, sepertinya kepastian itu belum begitu pasti karena baik Maddi
maupun Adam belum mengatakan siapa nama ‘gadis’ dan ‘cowok yang disukai gadis
itu’. Maddi berbalik lalu berteriak. “Adam!” serunya. Adam ternyata masih
berdiri disitu sambil sibuk mengetik. Ia lalu melihat Maddi, “apa, Madd?”
“Siapa nama
gadis dan cowoknya itu? Aku ingin tahu secantik apa sih cewek yang kau sukai!”
seru Maddi. Adam menggeleng lalu tertawa. “Kau mau tahu?” tanya Adam dengan
nada menggoda.
“Iya! Aku
penasaran!”
Adam
tersenyum kecil. “Pasangan masa depan, Maddi Jane dan Greyson Chance.”
Maddi tertawa
mendengar kata ‘pasangan masa depan’ yang Adam ucapkan. Ia lalu mengangguk
angguk. “Pasti gadis itu cantik!” seru Maddi. “Astaga, sok tahu kau! Cewek itu
mungil dan butuh kepastian hahaha.” kata Adam.
“Hahaha
sialan kau! Aku pasti mendapatkan kepastian itu dari Greyson!”
“Segitu
yakinnya? Hahahaha.”
“Iya! Hahaha.
Anyway, terima kasih ya, Dam.” kata Maddi dengan suara melembut.
Adam menatap
Maddi heran. “Untuk apa?”
“Untuk
kepastiannya.” kata Maddi sambil tersenyum lebar. Adam tertawa lalu melambaikan
tangannya. “Sama sama, ayo cepat ke bus!” seru Adam. Maddi mengangguk lalu
menggeret kopernya secepat mungkin.
Hatinya yang
beberapa jam lalu dipatahkan oleh Adam, kini di satukan lagi oleh Adam. Dan
Maddi tahu, mulai sekarang, hatinya sudah bisa melepas Adam. Hatinya sudah
memilih dan ia tahu pasti, pilihannya pasti jatuh pada cowok yang sedang
menunggunya di depan pintu bus sambil tersenyum manis padanya.
***
“Ayo duduk.”
kata Greyson saat ia akhirnya menemukan kursinya dan Maddi. Mereka mendapat
kursi dekat jendela dan duduk berdua. Maddi tersenyum kecil lalu mengangguk.
Jantungnya berdegup kencang. Selama 2 jam kedepan ia akan duduk disamping
Greyson Chance, orang yang ia sukai.
Greyson dan
Maddi mengobrol banyak hal mulai dari keluarga, pelajaran, cita cita dan banyak
lagi. Bagi Maddi, Greyson adalah pendengar yang baik. Bagi Greyson, Maddi itu
cewek yang cerewet namun cerita ceritanya selalu asyik untuk didengar. Ketika
yang lain tidur, Maddi dan Greyson masih saja mengobrol panjang lebar.
“Jadi Ibu dan
Ayahmu di Amerika toh…” kata Maddi sambil memainkan iTouch nya.
“Iya… Kadang
aku yang menengok mereka kesana. Sekitar 3 bulan sekali.”
“Lalu kenapa
tidak di Amerika saja? Kan disana lebih
bagus, Grey..”
“Hahaha nanti
kalo gak ada, Maddinya kangen.” kata Greyson sambil tertawa. Pipi Maddi
memerah. “Itu bercanda, serius, atau sedang menggombal?” tanya Maddi sambil
tertawa.
“Duh
bagaimana ya hahahaha.”
“Anyway,
bolehkah aku memanggilmu Greys?” tanya Maddi. Greyson memang dipanggil Greys di
lingkungan keluarganya. Greyson mengangguk lelu tersenyum. “Terserah kau, yang
penting namaku tidak diganti hahaha.”
“Okey, Greys!”
seru Maddi sambil tertawa.
Maddi dan
Greyson terus mengobrol tak ada hentinya. Namun Maddi tiba tiba terdiam ketika
melihat ke depannya, Mackenzie yang duduk bersama Adam sedang tertawa bersama.
Maddi menatapnya dengan tatapan sedih bercampur senang.
Greyson yang
tadinya berniat untuk membahas hubungannya dengan Maddi, tiba tiba mengurungkan
niatnya ketika melihat Maddi. Ia tidak mengerti kenapa Maddi selalu mundur satu
langkah ketika Greyson sudah maju beberapa langkah. Lalu kapan hati mereka akan
bertemu?
Greyson menatap
keluar, langit begitu gelap pekat. Ia tidak ingin Maddi menyukai Adam lagi.
Maddi sudah hampir berada ditangannya, kenapa lagi lagi Maddi menjauh ketika
Greyson mendekat? Ia mengepalkan tangannya, wajahnya begitu kesal.
Maddi menoleh
ke arah Greyson. “Kau kenapa diam saja Greys?” tanya Maddi sambil tersenyum. “Tidak.”
jawab Greyson cuek. Maddi tersentak. Apa yang terjadi pada Greyson?
“Kau kenapa
sih?” tanya Maddi. Ia melihat tangan Greyson yang menepal lalu menggenggamnya. Greyson
langsung menepis tangan Maddi lalu melihat Maddi. Wajah Maddi langsung bermimik
kaget bercampur kecewa. Matanya mulai berkaca kaca.
“Kau.. Kau
kenapa selalu mundur satu langkah ketika aku sudah maju beberapa langkah?”
tanya Greyson kesal. Maddi menatap Greyson dengan mata yang berkaca kaca. “Apa
maksudmu?”
Greyson
mengepalkan tangannya lagi. “Tolong, jangan seperti ini. Aku tidak bisa.”
“Apanya yang
tidak bisa sih?”
“Kau selalu
baik sama aku. Kau selalu lembut. Kau selalu membuat aku berfikir lebih jauh.”
“Astaga ada
apa ini Greys?”
“Kau.. Kau
kenapa membuatku bertanya tanya begini sih?”
“Astaga,
Greys…. Ada apa sih?”
“Kau.. Kenapa
kau begini ke aku kalau kau…”
“Aku kenapa?
Ada apa denganku?”
“Ah, jujur
sajalah! Maddi masih menyukai Adam kan?” tanya Greyson dengan nada suara yang
naik satu oktaf. Matanya menatap Maddi kesal. Maddi langsung terdiam. Hatinya
berdegup kencang, ia tersenyum lebar. Doa Adam sebentar lagi terkabul.
Kepastian akan datang padanya
secepatnya, mungkin tanpa perlu ia perjuangkan.
To be continued....
Ceritamu menarik sekali kakak, butuh waktu semaleman akunya menyelesaikan artikel "If This Was a Movie".
BalasHapusSalam Persahablogan
Aduh, terima kasih sudah membaca:}
Hapus