[FLASH FICTION] SOUR: the art of being honest


Kita itu temenan, kan, Mae? Tapi kenapa rasanya ada tembok besar setiap kali kita berinteraksi?”


Pertanyaan Devan nggak salah, dia justru punya hati yang baik untuk bisa melihat kalau banyak dinding tinggi yang Mae bangun untuk menjaga dirinya sendiri. Tetapi, fakta bahwa laki-laki itu melihat apa yang Mae sembunyikan membuatnya agak ketakutan. Selama ini Mae nggak punya ruang untuk memproses perasaannya sendiri. Ia lebih banyak menggunakan ruang dan waktu yang dimiliki untuk menjaga diri dari serangan-serangan luar: omongan jahat, orang yang datang memanfaatkan, hingga sikap kasar ayahnya sendiri. Sementara bersama Devan, ia seperti diberikan ruang untuk lebih mengenal dirinya dan itu yang membuatnya mundur perlahan-lahan.


“Lo tau nggak apa hal yang paling susah di hidup ini?” Devan membuka suara lagi, seakan tidak mau obrolan mereka berakhir hanya karena Mae lebih fokus menatap gedung-gedung tinggi di wilayah Sudirman.


“Apa?”


“Kata emak gue, yang susah itu jujur, Mae. Jujur sama orang lain, jujur sama diri sendiri. Lo berhasil ajarin gue untuk jujur sama orang lain. Untuk gak nutupin lagi kalo gue gak mau sesuatu tapi mereka paksa. Untuk gak pura-pura baik-baik aja kalo mereka omongin gue yang nggak-nggak. Gue di sini bisa lebih baik, ya karena ketemu lo.”


Mae bergeming. Ia tidak berani menoleh ke arah Devan karena laki-laki itu akan bertanya lebih dalam lagi. Sialnya, jalanan Sudirman sedang macet jam pulang kantor. Sedari tadi, mobil biru Devan tidak bergerak sama sekali. Apa yang harus Mae lakukan? Apa sebaiknya ia turun dan memesan ojek online saja?


“Mae, kalo lo gak mau bilang ke gue tentang luka di tangan lo, gak apa-apa. Tapi, jangan bohong sama diri lo. Jangan pasang tembok tinggi bahkan buat diri lo sendiri. Beban di pundak lo … berat banget, Mae. Gue bisa lihat itu, meski gue nggak bisa bantu, tapi berbagi sama orang yang lo percaya bisa meringankan, kok.”


“Huh? Percaya?” Mae mendengkus sinis. “I’m all alone, Dev. Gue gak punya keluarga suportif kayak lo, gue gak punya kakak baik kayak Abigail, gue gak punya sahabat dari kecil kayak Jendra. Semua beban ini ya harus gue pikul sendiri.”


“Lo punya gue, Mae,” sahut Devan sambil menoleh ke arah Mae. “Lo punya sahabat lo.”


Detik itu, pertahanan Mae runtuh lagi. Hati baik Devan berhasil menyentuh titik lemahnya dan membuat air matanya jatuh bercucuran. Sepanjang jalan hingga kawasan rumahnya, Mae nggak mengatakan apa-apa tentang luka yang ia dapatkan setelah didorong oleh ayahnya hingga mengenai lemari kamarnya. Devan juga nggak bertanya apa-apa lagi. Tetapi, saat gadis itu menangis tanpa suara, ia tahu akhirnya dia berani jujur juga.


Walau bukan pada Devan, setidaknya Mae jujur pada dirinya sendiri. Kalau dia sedih, dia kecewa, dia tersakiti, dan nggak apa-apa untuk merasakan hal itu karena mereka adalah perasaan manusiawi.


Hari ini Devan meringankan beban Mae, selayaknya Mae meringankan beban Devan sebagai anak baik yang selalu dimanfaatkan orang-orang. He will cherish Mae everyday.



1 komentar:

  1. Sayang banget aku datang dari masa depan. Pengen banget nanti Devan ketemu lagi sama Mae. Walaupun bukan buat temenan tapi seenggaknya kayak ngelihatin kalau kalian tuh udah bahagia di versi prinsip hidup kalian masing-masing. Trus Devan kenalin Tari ke Mae :')

    BalasHapus

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.