one last closure for a long-lost love

Setelah 8 bulan lamanya, I think this one is worth writing here.

Katanya ada sebuah teori yang disebut the final meeting: lo nggak akan ketemu lagi sama seseorang ketika universe anggap hubungan kalian selesai di masa ini. Lima tahun lamanya kita nggak jumpa. Gue ingat itu di awal tahun 2020, sebelum pandemi tiba dan segala rencana berubah seketika. Gue melihat lo terakhir kalinya dengan sebuah kemeja, senyum tipis basa-basi yang menyungging, lalu hilang sebelum ada sapa.

Benang pertemuan kita pun semakin kusut, memudar, kemudian menghilang. Gue melihat lo dari Instagram Story, sementara lo nggak pernah muncul di mana-mana lagi. Mungkin memang keputusan gentle lo untuk melangkah keluar dari hidup gue adalah jawaban yang tepat bagi kita berdua. Karena lima tahun kemudian, gue bisa melihat bahagia yang tertunda waktu kita bersama.

Cuman beberapa detik, itu pun nggak dalam keadaan dekat. Di antara ramainya orang-orang pada penghujung minggu, Fena berbisik nggak percaya melihat lo saat kami sedang main kartu. Jakarta itu besar banget, dan setahun gue pindah ke sini, nggak pernah gue berpapasan dengan siapa pun yang memang seharusnya tidak gue temui lagi. Tapi, lo di sana, dengan dunia baru lo. Gue di sini, dengan dunia baru gue.

Sepersekian detik itu cukup asing buat gue karena selama nama lo masih muncul dalam percakapan, banyak what-ifs scenario yang jauh dari apa yang terjadi kemarin. Gue rasa hangat di dada nggak bisa gue sebut dengan bahagia, tapi mungkin syukur dan lega lebih tepat adanya. Lo hidup dengan diri lo. Gue hidup dengan diri gue. Nggak perlu lagi berusaha untuk membahagiakan hingga lupa diri masing-masing

Gue udah jadi penulis, loh.

Sesuatu yang lo juga sempat berkontribusi dalam perjalanannya. Sesuatu yang lo juga sempat jadi muse dalam setiap prosesnya. Gue benar-benar jadi penulis sekarang. Yang dibayar untuk tulisannya, yang dibayar untuk waktu dan opininya, yang punya pembaca, yang punya pengikut. Dan semua itu terjadi karena gue juga sempat bertemu dengan lo. Terima kasih yaa.

Katanya lo juga bekerja di tempat yang lo impikan. Kita pernah sama-sama bahas hal tersebut dan gue ikut senang mendengarkan. Satu dua kali nama lo lewat di beranda media sosial gue dan gue bersyukur melihat lo bisa hidup seperti yang lo impikan dahulu. Selamat yaa.

"Gimana perasaan kamu ketemu dia, Titi? Kalo kamu papasan sama dia, kamu mau nyapa dia nggak?"

Nggak, Tari. Gue nggak mau. The least I can do to honor our past is to respect you. I saw you and it's more than enough. Gue tau keputusan untuk mundur adalah jawaban terbaik untuk kita karena kita nggak akan bahagia selama masih ada kita.

Tiba-tiba gue teringat doa gue lima tahun lalu, semoga bisa saling bertemu lagi ketika sama-sama saling membahagiakan. Dan beginilah akhir cerita kita. Bertemu lagi ketika sama-sama saling membahagiakan melalui perpisahan. Gue gak tahu lo ngeh keberadaan gue saat itu. Gue juga gak peduli apakah lo sudi mengetahui hidup gue yang sekarang. Tapi, buat gue it's enough to know that you're happier without me. I'm happier without you. Then our mission is accomplished.

Terima kasih sudah menjadi banyak tulisan yang menyadarkan gue tentang luka dan cinta.
Terima kasih pernah jadi bagian dari perjalanan masa remaja dewasa gue. 
Meskipun kita udah pernah punya kata terakhir, tapi gue senang dengan one last closure ini.
Karena dunia mempertemukan gue dan lo lagi, maka gue menyadari bagaimana gue sudah berhasil berdamai dengan segala kekacauan yang kita miliki.

Thank you.
Have a good life, star-wind-flower-sun.
You know who you are.



Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.