[FLASH FICTION] Untuk Cerita yang Ingin Dilupakan
Jemari mungil Felicia menunjuk nunjuk ke arah yang lebih jauh dari dugaan Refa. Ini bukan kali pertama sahabatnya berusaha menariknya untuk berkenalan dengan orang orang baru. Bukannya Refa menolak untuk belajar bertemu orang lain, hanya saja hatinya tidak sesiap itu.
Felicia menatapnya dengan penuh harap namun Refa menggeleng, "enggak ah.."
"Oh, ayolah Ref.. Mau sampai kapan?" Tanya Felicia kesal.
Refa mencoba mencairkan suasana dengan mencubit pipi gadis itu, "Refa baik baik aja kok, Feli. Feli gak usah bawel ya!"
"Haduh.. Ref.. Please deh. Gak usah bohong. Kamu gak pernah baik baik aja -setelah Ester pergi dan segala hal buruk berdatangan untuk kamu."
Refa menghela napas, agak kesal. Jangankan hanya menganggap teman, mendengar nama Esterlitha Theo saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri lagi. Ditinggalkan karena berpacaran dengan pria lain mungkin akan sakit, namun tidak sesakit menerima undangan dan harus mengurusi resepsi pernikahannya.
"Ester aja udah mulai hari hari barunya.. Nah, Refa juga harusnya begitu." Ujar Felicia sambil meraih jemari sahabatnya. "Ini namanya Abigail, dia baik banget. Dia supplier baru untuk Event Organizer kita. Barangkali Refa mau-"
"Dia suka menari?" Tanya Refa tiba-tiba. Seketika kerutan karena keheranan muncul di dahi Felicia. Ia berujar, "kenapa harus-"
"Kalo suka nari, tarian apa yang dia bisa? Dia suka masak? Apa dia bisa berenang? Dia bisa main musik? Dia-"
Karena geram mendengar celoteh Refa, akhirnya Felicia menampar Refa cukup keras hingga laki laki itu mundur beberapa langkah. Ia menggeram, "bisa berhenti bandingin semua cewek dengan Ester gak?! Refa udah dong, cukup! Dia ninggalin kamu.. Dia nikah dengan orang lain! Kamu boleh menyayangi dia, tapi jangan jadi orang bodoh, Ref.. Jangan menyakiti diri kamu sendiri.."
Refa tidak menunjukkan ekspresi apapun kecuali kecewa. Kecewa akan dirinya yang seakan tersadar atas 6 bulan pahitnya duduk di balik kursi kantor sambil merenungi meja milik Ester yang kini kosong. Kecewa akan dirinya yang tidak semapan itu hingga membuat kedua orang tua Ester tidak mempercayakan anak mereka padanya. Kecewa akan dirinya yang membiarkan Ester meminta pertolongannya untuk hari pernikahannya tanpa memikirkan jangka waktu panjang.
Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang singkat untuk Refa yang cuek menerima Ester dan menyesuaikan dirinya dengan perempuan itu. Namun ketika usia tidak lagi bisa berbohong sementara diri tidak mampu untuk berpura pura, kali ini cinta pun tidak bisa bertindak. Sudah sewajarnya Ester menikah lebih cepat mengingat kesehatan Ayahnya yang semakin lama semakin menurun sementara dirinya sendiri sadar ia tidak bisa memberikan apa apa jika perempuan itu memilih menikahinya.
Waktu 6 bulan yang sudah berlalu sering kali menjadi tolak ukur Refa untuk melangkah. Bukan berarti Felicia seenaknya menjodohkan atau Refa tidak tahu diri sampai akhirnya ia harus ditampar seperti tadi. Hanya saja apa yang Refa rencanakan tidak selalu berjalan seperti yang ia harapkan. Membuka hati untuk mengenal orang baru setelah kita dipatahkan hatinya bukanlah perkara mudah.
Kali ini Refa yakin Felicia akan memeluknya dan mulai bicara tentang waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Namun berapa lama lagi ia harus menunggu untuk mati rasa akan apa yang Ester lakukan? Apa usahanya untuk tetap berbuat baik pada Ester tidak bisa membawa hatinya menuju ketenangan?
Felicia meraih tangan Refa lalu berujar, "sudah, Ref.. Sudah.."
"Tapi Fel.." Refa akhirnya berani mengangkat kepalanya, "jika waktu akan menyembuhkan hati yang terluka, lalu berapa banyak waktu yang harus kumiliki untuk melupakan perasaanku padanya? Aku sadar aku gak bisa mengejar Ester, namun setidaknya aku tidak ingin mati dalam penyesalan seperti ini. Berapa lama lagi aku harus menunggu?"
Karena Refa hanya ingin melihat Ester bahagia, meski jika itu artinya wanita itu bahagia tanpanya. Refa juga ingin memperbaiki hatinya, meski jika itu artinya ia harus melupakan Ester. Namun apa yang harus Refa dahulukan? Hatinya atau hati orang yang dicintainya?
Felicia menatapnya dengan penuh harap namun Refa menggeleng, "enggak ah.."
"Oh, ayolah Ref.. Mau sampai kapan?" Tanya Felicia kesal.
Refa mencoba mencairkan suasana dengan mencubit pipi gadis itu, "Refa baik baik aja kok, Feli. Feli gak usah bawel ya!"
"Haduh.. Ref.. Please deh. Gak usah bohong. Kamu gak pernah baik baik aja -setelah Ester pergi dan segala hal buruk berdatangan untuk kamu."
Refa menghela napas, agak kesal. Jangankan hanya menganggap teman, mendengar nama Esterlitha Theo saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri lagi. Ditinggalkan karena berpacaran dengan pria lain mungkin akan sakit, namun tidak sesakit menerima undangan dan harus mengurusi resepsi pernikahannya.
"Ester aja udah mulai hari hari barunya.. Nah, Refa juga harusnya begitu." Ujar Felicia sambil meraih jemari sahabatnya. "Ini namanya Abigail, dia baik banget. Dia supplier baru untuk Event Organizer kita. Barangkali Refa mau-"
"Dia suka menari?" Tanya Refa tiba-tiba. Seketika kerutan karena keheranan muncul di dahi Felicia. Ia berujar, "kenapa harus-"
"Kalo suka nari, tarian apa yang dia bisa? Dia suka masak? Apa dia bisa berenang? Dia bisa main musik? Dia-"
Karena geram mendengar celoteh Refa, akhirnya Felicia menampar Refa cukup keras hingga laki laki itu mundur beberapa langkah. Ia menggeram, "bisa berhenti bandingin semua cewek dengan Ester gak?! Refa udah dong, cukup! Dia ninggalin kamu.. Dia nikah dengan orang lain! Kamu boleh menyayangi dia, tapi jangan jadi orang bodoh, Ref.. Jangan menyakiti diri kamu sendiri.."
Refa tidak menunjukkan ekspresi apapun kecuali kecewa. Kecewa akan dirinya yang seakan tersadar atas 6 bulan pahitnya duduk di balik kursi kantor sambil merenungi meja milik Ester yang kini kosong. Kecewa akan dirinya yang tidak semapan itu hingga membuat kedua orang tua Ester tidak mempercayakan anak mereka padanya. Kecewa akan dirinya yang membiarkan Ester meminta pertolongannya untuk hari pernikahannya tanpa memikirkan jangka waktu panjang.
Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang singkat untuk Refa yang cuek menerima Ester dan menyesuaikan dirinya dengan perempuan itu. Namun ketika usia tidak lagi bisa berbohong sementara diri tidak mampu untuk berpura pura, kali ini cinta pun tidak bisa bertindak. Sudah sewajarnya Ester menikah lebih cepat mengingat kesehatan Ayahnya yang semakin lama semakin menurun sementara dirinya sendiri sadar ia tidak bisa memberikan apa apa jika perempuan itu memilih menikahinya.
Waktu 6 bulan yang sudah berlalu sering kali menjadi tolak ukur Refa untuk melangkah. Bukan berarti Felicia seenaknya menjodohkan atau Refa tidak tahu diri sampai akhirnya ia harus ditampar seperti tadi. Hanya saja apa yang Refa rencanakan tidak selalu berjalan seperti yang ia harapkan. Membuka hati untuk mengenal orang baru setelah kita dipatahkan hatinya bukanlah perkara mudah.
Kali ini Refa yakin Felicia akan memeluknya dan mulai bicara tentang waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Namun berapa lama lagi ia harus menunggu untuk mati rasa akan apa yang Ester lakukan? Apa usahanya untuk tetap berbuat baik pada Ester tidak bisa membawa hatinya menuju ketenangan?
Felicia meraih tangan Refa lalu berujar, "sudah, Ref.. Sudah.."
"Tapi Fel.." Refa akhirnya berani mengangkat kepalanya, "jika waktu akan menyembuhkan hati yang terluka, lalu berapa banyak waktu yang harus kumiliki untuk melupakan perasaanku padanya? Aku sadar aku gak bisa mengejar Ester, namun setidaknya aku tidak ingin mati dalam penyesalan seperti ini. Berapa lama lagi aku harus menunggu?"
Karena Refa hanya ingin melihat Ester bahagia, meski jika itu artinya wanita itu bahagia tanpanya. Refa juga ingin memperbaiki hatinya, meski jika itu artinya ia harus melupakan Ester. Namun apa yang harus Refa dahulukan? Hatinya atau hati orang yang dicintainya?
Untuk bos besarku
yang memintaku menulis tentang yang lain.
Jakarta, 14 November 2017
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}