[SHORT STORY] Sekala Bintang




Untuk Sekala :

Tuhan sayang sama kita, Kal. Makanya kita dipertemukan untuk bisa bersama.


Untuk Bintang :

Tapi kalau Tuhan sayang sama kita, kenapa kita dipisahkan pada akhirnya?



✨✨✨





Kecewa itu memang milik manusia dan Bintang masih seorang manusia rupanya. Setelah berkali-kali ia sering mematahkan hati laki-laki dan membuat adiknya menangis karena insecurities, Syifa Bintang Afrizal pikir dirinya sudah berubah menjadi setan. Katanya setan tidak punya kemampuan untuk merasa, tetapi ternyata hanya kelakuan Bintang saja yang seperti mereka. Hatinya masih sama. Masih hati manusia.


Maka ketika ekor matanya menemukan sepasang mata sayu itu mempelajari figurnya dari kejauhan, Bintang tahu bahwa kini sudah saatnya. Saat untuk segala benih emosi yang tertanam dalam hatinya muncul ke permukaan; entah untuk menumbuhkan batang atau bahkan seperti umbi-umbian yang jelas sudah sempurna sejak berada di bawah tanah. Apa pun bentuknya, Bintang tahu rasa ini nyata. Rasa rindu itu menyeruak tanpa permisi, menyapa setiap sel kecil dalam tubuh hingga pemiliknya sadar bahwa perasaan ini tidak pernah hilang.


Meski momennya sudah pergi, rasanya tetap tinggal di hati.


Laki-laki itu berdiri dengan kemeja hitam andalannya, lengkap dipadukan bersama jeans biru tua yang Bintang yakini sudah dua minggu tidak dicuci. Bukan sebuah tuduhan, hanya saja Bintang kenal betul sosok itu. Laki-laki yang pernah membuat dirinya tidak mengantuk di pagi buta untuk sekadar mendengarnya berceloteh di telpon. Laki-laki yang paling senang menunggu adzan maghrib di bulan Ramadhan padahal ia pergi ke Gereja. Laki-laki itu masih rupawan seperti terakhir kali Bintang lihat dalam mimpinya. Bulu matanya lentik dan lesung pipi yang terlukis di wajahnya seakan memancarkan keramahan. Seakan laki-laki itu mampu membuat siapa pun di hadapannya merasa bahagia karenanya. Mungkin hal magis miliknya itu yang membuat bibir Bintang tertarik sedikit ke atas.


Padahal tidak boleh.


Tidak boleh begini.


“Kardigannya jadi langsung dipake, Kak?” ulang penjaga kasir toko pakaian itu dengan hati-hati. Mungkin perempuan itu juga bisa merasa bahwa ada sesuatu yang hancur di hadapannya, ada sesuatu yang runtuh dari posisi kokohnya, serta ada yang berteriak minta tolong dari dalam hatinya; Bintang.


“Itu ditanyain,” sahut laki-laki itu enteng, seakan tidak ada dosa seperti biasanya. “Kebiasaan banget bengong.”


“Oh, iya. Ma-mau langsung pake, Kak,” jawab Bintang terbata-bata. Jantungnya yang bergemuruh kini membuat wajah tegasnya bersimbah peluh. Bintang meraih kardigan itu kemudian mengenakannya; masih dengan gerakan terburu-buru hingga ia kesulitan melepaskan kancingnya. 


“Haa Syibin …” Laki-laki itu melepas tawanya dengan renyah. Mendengar tawa itu bukannya Bintang merasa senang, yang ada dia malah murka karena jadi bahan bercandaan. 


“Apaan lo?”


“Nggak papa. Masih lucu aja.”


Anjrit. Ngilang bertahun-tahun cuman buat bilang lucu? Ya emang, sih, gue lucu. Tapi nggak gitu ya.


“Nggak jelas lo,” tukas Bintang sok galak sembari meraih tas belanjaannya dan beranjak pergi. Namun belum sempat ia melangkahkan kaki, tangannya sudah di tahan lebih dulu oleh laki-laki brengs*k tadi.


“Eh, mau ke mana?” tanya laki-laki itu panik.


“Ke laut kali.” Bintang merengut; dia benar-benar kesal kalau sudah begini.


“Yaudah gue ikut.”


“Apaan sih lo?!”


Laki-laki itu mengeluarkan dompet dari saku celananya sambil terkekeh, “jangan galak-galak gemes gitu dong, Syibin. Gue udah nggak bisa kayak dulu lagi.”


Bintang tersenyum miring.


Laki-laki itu benar, mana bisa dia seperti dulu lagi? Apalagi dengan cincin berwarna perak di jari manis tangan kirinya, Bintang tidak bisa lagi hanya sekadar belajar bahwa ada beberapa cinta yang terasa begitu tepat namun bukan terbaik untuknya. Dia harus memahaminya sepenuh hati.


“Masih minum hazelnut chocolate, kan?” tanya laki-laki itu.


Bintang mengangguk. “Masih kok … tapi sama Alana.”


“Kalo gue sih udah nggak, Bin.”


“Kenapa?”


Laki-laki itu tersenyum tipis kemudian menjawab, “rasanya beda setelah elo nggak ada.”


Hari itu Bintang harusnya buru-buru pulang ke rumah karena Ansell sudah menunggunya bersama Alana. Ansell yang merupakan pacarnya sudah di ruang tengah rumahnya lebih dari dua jam akibat sikap impulsif Bintang sore ini setelah melihat Jennie Blackpink dengan kardigan ungunya. Ansell si baik hati yang mengirimkan uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah hanya supaya Bintang beli kardigan ini. Ansell yang begitu menyayanginya hingga rela menerima puluhan mirror selfie dari Bintang ketika sibuk keluar masuk kamar ganti untuk menemukan kardigan ungu itu.


Sayangnya meski otak Bintang dengan buru-buru terus mengingatkan kalau pipinya yang merona itu adalah sebuah dosa, hatinya seakan tidak mau berhenti merasa. Tidak perlu kata-kata puitis untuk mengungkapkan perasaan Bintang sore ini. Karena hatinya cukup jujur untuk bilang kalau dia bersyukur mau kardigan ungu seperti punya Jennie Blackpink. Karena kardigan ungu yang Alana bilang norak itu ternyata yang membawa Bintang bertemu lagi dengan cinta terlarangnya ini.


Sekala Eleandra Wicaksono.


✨✨✨


Selamat bertemu dua manusia yang terjebak pada sebuah cerita yang dikira cinta, namun ternyata lebih cocok disebut tragedi saja.



Syifa Bintang Afrizal

Digital Content Manager // 27 tahun

Boleh dipanggil Bintang, Syifa Bintang, Syibin tapi nggak boleh Sayang kalau belum pacaran. Paling ilfeel kalau cowok flirting, makanya dia sering melakukan hal-hal memalukan di Mall untuk bikin cowok-cowok itu menghilang, seperti beli baju terus langsung dipakai atau minta refill popcorn di Studio XXI. Memang nggak ada akhlak. Tetapi sekarang sudah ada laki-laki yang nggak kabur walau lihat Bintang aneh, Ansell namanya. Syibin anak pertama. Dia suka jadi problem solver orang lain walau dia nggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri; buat adiknya, Alana, nggak nahan nangis terus ketika dibandingkan orang lain padanya, dan juga minta maaf pada orang yang pernah ia sakiti sebelumnya.




Sekala Eleandra Wicaksono 

Creative Director // 27 tahun

Seorang kakak dan juga ATM berjalan untuk adik-adik sepupunya; Rhea, Helen, dan Naila. Cukup tiga yang paling bestfriend karena yang lain nggak bisa diajak jadi friend akibat sibuk nanya “kapan nikah?” melulu. Kala murka denger itu. Kala paling nggak bisa diajak ngobrol kalau perutnya lagi krucuk-krucuk. Tipe family man yang sangat taat beribadah, nggak pernah skip ke Gereja setiap minggunya. Buat Kala, nggak ada yang lebih penting dari lihat Rhea, Helen, dan Naila bahagia. Walau sejujurnya, ada yang sama pentingnya juga tapi dia tahu kayaknya sulit untuk digapai; tahu alasan kenapa cinta pertamanya memilih meninggalkan.


✨✨✨


Memperkenalkan mereka yang di sekitar Sekala dan Bintang;



Alana Nadhira Afrizal

Mahasiswa Public Relations Pelita Jaya University  // 20 tahun

Teman bertengkar dengan Bintang, tapi dia juga mau bertengkar dengan siapa pun yang menyakiti kakaknya. Alana suka sekali dunia media, namun tidak mau masuk jurusan Mass Communications seperti kakaknya. Sampai kapan pun Alana adalah tim Ansell, karena laki-laki itu yang membuat hubungannya dan Bintang membaik. Meskipun diam-diam dia sering bilang Sekala ganteng, tapi Bintang nggak tahu aja hehehe. Satu lagi; Alana adalah korban tukang ngalus President Pelita Jaya Radio, Dimas namanya, dan Bintang tentu saja murka.




Ansell Setiajaya

Podcaster // 27 tahun

Sulung dari tiga bersaudara. Cinta mati sama Bintang tapi akhirnya bisa dapat lewat jalur friendzone. Bener, kan, namanya friendzone nggak bisa dilawan? Ansell deket banget sama Alana dan itu salah satu hal yang buat Bintang makin mau untuk sama dia.




Rhea Eleanor Wicaksono

Mahasiswa Mass Communications Pelita Jaya University & Penulis  // 21 tahun

Buntutnya Kala, kakak tingkatnya Alana, sahabatnya Senja -pacar Kala, dan cinta matinya Dirgantara Satria. Capricorn dan ambisius. Kalau nggak punya uang selalu Kala dan Aga yang jadi 911-nya. Rhea tahu kalau Kala masih menyimpan tempat untuk Bintang di hatinya, makanya dia maju mundur jodohin Senja sama Kala. Eh, jodoh sih, Bun. Ya mau gimana lagi …




Senja Yasminika

Mahasiswa Mass Communications Pelita Jaya University & Intern Copywriter E-commerce // 21 tahun

Anak gereja, nggak pernah skip pelayanan. Suka banget sama anak-anak dan siap mengurus anak-anaknya kelak bersama Kala (ASHIAP). Senja cinta mati sama zodiak, jadi waktu tahu Kala itu Taurus yang merupakan best match-nya, ya jelas digas aja, Bun. Meski Pisces, Senja punya keahlian luar biasa alias nggak cemburuan. Sesuatu hal yang selalu Kala banggain.




Moammar Naufal

Digital Marketing TikTok Indonesia // 27 tahun

Pantang kalau sehari nggak ngaji satu halaman, dan pantang juga kalau nggak ikut minum-minum sama teman-teman. Memang mottonya adalah ibadah lancar, maksiat lancar. Teman sekelas Bintang ketika kuliah, teman Latsus Radionya Kala waktu masih jadi budak-budak radio. Mantan President Pelita Jaya Radio untuk Kabinet Pensil Warna dan julukannya adalah Anak Setan. Bukan karena suka ngalus kayak President yang onoh (lirik Dimas), tapi emang nggak berakhlak aja kalau ngasih kerjaan dan bertingkah laku di masyarakat. Sering sarkas, sering bikin orang nangis, tapi sebenarnya hatinya lembut kayak selimut bayi.




Rayyana Amaralin Elmalik

Penyanyi // 27 tahun

Seseorang almost yang tentu saja never enough untuk Naufal. Kerjaannya on off terus, tapi nggak pernah jadian. Penyiar Pelita Jaya Radio dan sekarang menjadi seorang penyanyi hits di Indonesia.


✨✨✨



✨✨✨





Kalau cinta bisa datang karena terbiasa, maka seharusnya ia juga bisa pergi bila kita membiasakannya. Namun, Bintang tidak pernah suka bicara tentang cinta karena seperti rate card influencer Instagram, sering sekali berganti tanpa kasihan dengan orang-orang agensi sepertinya ini. Budak ahensi, katanya. Orang-orang yang harus manut aja dengan angka rate card influencer yang bisa melambung tinggi di hari Senin dan turun dengan curam seperti kalau belanja di e-commerce dengan gratis ongkir. Mungkin sama juga dengan pekerjaan budak cinta; mereka terjebak dalam situasi yang mungkin tidak menguntungkan, namun mau nggak mau, suka nggak suka, ya dijalanin aja. Kan cinta.


Tetapi alasan cinta sudah tidak bisa digunakan oleh Bintang untuk misuh-misuh seperti malam ini lagi. Ditemani dengan dua cangkir coklat panas di pantry rumahnya yang bernuansa minimalis, ia duduk berhadapan bersama Alana dalam diam. Dari balik bulu matanya, Bintang mengintip raut wajah Alana. Barangkali saja sudah selesai murka dan menerima setiap pembelaan dari kakaknya. Sayangnya Alana di 2020 terkesan lebih berani dalam mengungkapkan pendapat. Apalagi sejak dirinya dan Bintang akhirnya berbaikan setelah sekian lama. 


Dari kecil Alana selalu merasa menjadi bayang-bayang kakaknya yang merupakan bintang di segala tempat. Namun mereka berdua berhasil duduk bersama dan mengungkapkan rasa masing-masing, bahwa tidak ada yang lebih hebat dan harus menjadi orang lain dalam hubungan ini. Keduanya sama-sama cukup dengan prestasi masing-masing. Kemudian salah satu wishlist Bintang pun tercapai; minta maaf pada Alana karena keberadaan Bintang menyakiti adiknya. Minta maaf karena Bintang tidak cukup peka dengan perasaan adiknya. Minta maaf karena menjadi kakak yang baik tidak pernah ada mata pelajarannya di sekolah, jadi jelas untuk hal satu ini Bintang mungkin saja gagal. 


Tapi, “Mbak mau sampai kapan masih kesulut sama Mas Kala yang nggak ngajak Mbak ngomong?” suara tegas Alana memecah keheningan, “aku kasihan sama Kak Ansell kalo dia tahu Mbak Bintang masih begini.” Bintang juga begitu. Bukan mau Bintang punya perasaan bersalah dan rindu setiap hari selama tujuh tahun terakhir. Semesta memang senangnya bercanda. Sayangnya untuk kasus Bintang, setiap naskahnya selalu berakhir dengan tragedi, bukan cinta.


Aku juga mau lupain Kala. Mau banget. Tapi akhir tahun lalu, waktu perusahaan kami merger, I have no idea that I would meet him again in person. Setelah selama ini cuman lihat dia dari Instagram Rhea, setelah berhenti ketemu tanpa saling berpamitan, dia muncul lagi. Tanpa mau bicara sama aku,” Bintang menghela napas dalam-dalam, “dan dia pasti benci banget sama aku.


Ya udah, sekarang maunya Mbak Bintang apa?” tanya Alana ngegas. Kesal juga dengar orang susah move on padahal dia sudah punya pacar sebaik Ansell Setiajaya.  Perempuan dengan rambut hitam legam yang terurai itu terlihat menatap sinis pada Bintang.  Nggak baik simpan dua orang dalam satu hati.”


Kok curhat?” tukas Bintang, ada sedikit tawa di akhir kalimatnya.


Yang diejek langsung merajuk. “Nye nye nye nye! Saya ini korban dari keserakahan Dimas Aidan yang cinta sama dua orang. Padahal saya baik banget, tapi saya dijadiin pelarian doang.


Bintang tersenyum separuh. “Ansell bukan pelarian, Al.”


“So don’t treat him like that. Nggak perlu overreact kalo ketemu dia terus dia nggak nyapa. Nggak perlu juga kepoin dia dari grup alumni. Nggak perlu,” tegas Alana. “Cukup sampai bersyukur aja karena pernah ketemu, Mbak. Karena banyak orang yang bahkan dipertemukan pun nggak pernah. So you guys counted as the lucky one.


Mereka ketemu dalam kisah cinta, Dek,” balas Bintang dengan tatapan mata nanar.  Sementara aku sama Kala ketemu dalam tragedi semesta,” dada Bintang terasa begitu sesak, ia benci membicarakan ini, “cinta beda agama.”





Ada orang-orang yang ditemukan untuk waktu lama, ada juga yang hanya singgah tanpa benar-benar menetap hatinya. Kadang Bintang bingung, apa takdir dari pertemuannya dengan Kala? Apakah mereka akan bertemu lagi di depan dua gelas chocolate hazelnut Starbucks seperti dulu atau mereka akan benar-benar menghilang tanpa ragu?


Sepertinya baru sebulan yang lalu Bintang pulang ke rumah dengan wajah gusar bercampur kesal karena Kala tidak mau satu proyek dengannya. Bukan tidak mau, memang Kala bisa memilih dan laki-laki itu tidak melihat Bintang sama sekali. Walau pun sama sekali adalah sebuah asumsi, tetapi mengingat Bintang hanya bisa menerka-nerka tanpa ikut menyelami benak Kala pada saat itu, jadi ya sudahlah. Anggap saja Kala memang memperlakukannya secara tak kasat mata.


“Jangan bengong dong, Syibin. Kaget ya sekarang gue lebih ganteng?” 


The greatest pick-up line selalu keluar dari Sekala Eleandra Wicaksono. Laki-laki jangkung itu paling tahu bagaimana membuat suasana yang dingin menjadi hangat seperti pesanan Bintang barusan. Dulu ketika masih di bangku perkuliahan, mereka berdua dapat julukan Holy Trinity Kabinet Pensil Warna di Pelita Jaya Radio. Mereka biasanya siaran bertiga bersama seorang teman sekelas Bintang saat itu, Moammar Naufal. Bintang selalu kebagian untuk cari topik dan data-data terkait siaran, Naufal membuat playlist lagu dan Kala menjadi pick-up liners alias pembuka setiap cut. Gilanya, 5 tahun dari kelulusan sarjana dan Kala masih punya skills yang sama.


“Udah gila.” Bintang bergidik geli, namun senyum simpul terulas di wajahnya. Gemas juga dengar Kala ngomong begini.


“Taurus emang tugasnya bikin baper-baper misterius gitu, kan?”


“Hah? Hari gini lo masih percaya zodiak?” 


Why not?” Kala mengedikkan bahunya dengan wajah heran. “Seru tau zodiak itu. Lo jadi bisa punya banyangan tentang personaliti seseorang.”


Bintang memijat pelipisnya. “Gue kira lo suka zodiak gara-gara menghormati Babeh Bayu aja … Dulu kan beliau suka banget acara Cerita Cinta Kita bahas zodiak. Sampai kita disebut Dokter Cinta.”


“Hahaha anjir, udah lama banget ya itu? Asli, Dokter Cinta was the lamest thing that people called me.”


But you enjoyed it, tuh,” cibir Bintang nggak mau kalah.


“Cewek gue tuh suka banget zodiak, Bin.” Oke, jantung Bintang bergemuruh begitu cepat sekarang. Ada rasa nyeri di perut ketika kata “cewek gue” terlontar dari bibir laki-laki di hadapannya. Bintang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kemudian menggigit bibirnya. Ternyata yang di Instagram beneran pacar Sekala. “Buat dia yang bisa dipercaya di dunia itu cuman dua; Tuhan dan zodiak. Dia nggak suka MBTI test karena sering ganti-ganti dari introvert jadi extrovert. Kalo udah begitu, nanti dia ngamuk sama gue. Padahal, kan, bukan gue yang ciptain MBTI test!” Tawa lepas terdengar di sela-sela kalimat Kala; ia terlihat bahagia.


Sementara itu Bintang hanya bisa mengangguk-angguk kecil. Ia tidak tahu harus memberi respon apa. Ikut bahagia, juga? Atau bawa-bawa Ansell dalam percakapan ini? Karena gaduh yang ada di dalam kepalanya tidak memberikan pencerahan apa-apa, maka Bintang meraih cangkir coklat panas berwarna putih itu kemudian meneguknya pelan-pelan.


Beneran biasa aja dong. Kayak reunian temen lama. Ini gue doang apa yang punya perasaan atau gimana, sih?


“Eh, kalo di kantor jangan jutek-jutek dong,” celetuk Kala hingga Bintang tersedak minumannya sendiri. Kala tertawa kecil sambil menyodorkan tisu ke arah Bintang. “Sampe kesedak gitu. Katanya kan elo masih suka minum hazelnut chocolate. Jadi nggak perlu super excited gitu hahaha.”


“Elo tadi minta apa?” tanya Bintang setelah batuknya reda.


Kala memicingkan kedua matanya. “Jangan … jutek-jutek? Soalnya kalo lo lihat gue tuh kayak … jutek … dingin … I don’t know how to describe it, but it feels like I’ve become an outsider for you.”


Salah banget, anjir, Sekala. Gue yang ngerasa begitu.


“Gue makanya nggak berani ajak lo ngobrol,” sambung Kala. “Selain itu … gue cuman mau ikutin permintaan terakhir lo sih hahaha.”


“Apa? Emang gue minta apa?”


“Lo minta untuk gue nggak perlu ngomong sama lo lagi.”


Bintang terkesiap. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Kala akan menganggap kalimatnya dengan serius. “Kal …”


“Dan gue selalu sama, Syibin. Gue selalu mau kasih apa pun yang lo mau. Makanya, kalau emang dengan nggak ngomong sama lo bikin lo seneng, I will do it for you.”


“Terus sekarang … kenapa lo random mau ngomong lagi sama gue? Lo udah punya pacar, Kal,” sentak Bintang dengan nada defensifnya.


“Nggak tahu. Gue lihat lo tadi happy gitu pas bayar kardigan, dan gue jadi refleks aja godain lo kayak biasanya. Makanya gue tadi bilang, ‘ungu norak tuh. Nggak takut dikatain Alana?’ dan lo noleh. Waktu lo noleh gue baru sadar … gue kan janji nggak akan ngomong lagi sama lo,” ujar Kala rikuh.


“... Gue kira lo benci gue, Kal.”


Kala diam beberapa saat, menyatu dengan dunia yang seketika berubah hening padahal Starbucks Grand Indonesia sedang ramai-ramainya pada pukul 7 malam di hari kerja. Sementara bibir Bintang tidak mengatup, ia masih sangat takjub dengan apa yang ia dengar.


“Benci elo? Ngaco,” Kala tertawa lirih, “nggak ada di kamus gue, Bin.”





Bisa udahan nggak bucinnya?” Samar-samar suara Naufal terdengar di antara tawa Kala yang menjadi pusat perhatian Bintang sore ini. Kedua sejoli itu menoleh dan menemukan Naufal masuk ke ruang siaran dengan wajah kusut. Pasti berantem lagi, deh.


Ini berantem lagi sama Amel?” goda Bintang enteng.


Kala cekikikan sendiri. “Apa udah putus?


Nggak ada akhlaknya, bangs*t!” seru Naufal kesal. Varsity kampusnya di lempar ke meja siaran dan rahangnya mengeras. Sorot matanya memang selalu sinis, namun sore ini malah berubah menjadi gahar. Seperti singa yang sudah siap menerjang mangsanya, Naufal mengaum-ngaum dalam hati saking kesalnya.


Bisa nggak sih gue asik-asikan haha hihi aja sama Amel?” tanya Naufal. “Belum juga pacaran, tapi dramaaaa mulu. Kan asikan kayak lo berdua, pacaran iya, sekalian zina juga.


Wah anj*ng emang, Anak Setan!” Kala murka. “Mana ada zina?


Zina ege pacaran beda agama. Kata Babeh tuh aski ini disebut membabi buta. Udah tahu nggak bisa, malah dilanjutin aja.


Aduh jangan bad vibes deh, Pak President,” pinta Bintang sembari beranjak dari duduknya. 


Kalo emang kisah cinta lo yang bercanda, nggak usah ajak-ajak kisah cinta gue juga!


Emang ini anak udah jadi President bukannya baik, malah makin jadi Anak Setan,” tambah Kala ikut-ikutan jadi kompor.


Sialan! Gue mau putusin Amel ajalah,” sahut Naufal pasrah. 


Lah? Gimana mau putus? Emangnya pernah jadian? Hahaha.” Tawa Kala yang menggelegar membuat Bintang ikut tenggelam juga di dalamnya. Sementara itu Naufal menghampiri Kala lalu menjitak kepala sahabatnya itu.


Bener-bener nggak berakhlak ya lo, Kala!


Memang paling mudah bercandain hubungan orang lain, tapi siapa yang suka kalau hubungan sendiri dibercandain? Hari itu Kala dan Bintang anggap ucapan Naufal adalah angin lalu. Padahal mereka berdua tahu, hubungan ini lebih nggak pasti dari hubungan Naufal dan Amel yang belum jadian sampai saat ini. Setidaknya Naufal dan Amel punya masa depan … sementara Kala dan Bintang tidak.





“Masa sih cuman pacar?” 


Bintang mencengir, berusaha mengubah suasana tegang seperti olimpiade nasional tadi menjadi lebih cair. Sementara ekspresi wajah Kala berubah menghangat. Sorot matanya terlihat takjub bercampur bangga karena Bintang sepertinya tidak terbawa suasana lebih jauh seperti dirinya. Mungkin hanya Kala yang menghabiskan tujuh tahun ini dengan usaha berpikir positif terhadap perpisahan mereka. Mungkin Bintang memiliki metode lain sampai berpikir Kala membencinya. Mungkin ada beberapa cerita yang tidak memiliki akhir bahagia seperti Bintang dan Kala.


Notice aja nih omongan gue. Emang nggak kaleng-kaleng, deh, Mbak Syibin!” puji Kala sambil ikut cengengesan. 


“Eh, gue nanya serius.” Bintang mengubah raut wajahnya, kini lebih serius dari sebelumnya. Ekor matanya melirik cincin yang melingkar di jemari tangan Kala sedangkan tangan kanannya dikepal erat-erat. Nggak boleh sampai salah ngomong ya, Bintang. 


“Oh, karena ini?” Kala menangkap arah tatapan Bintang dan terkekeh sendiri. “Elo sama aja kayak klien-klien gue. Kepo!”


“Nggak gitu … masa pacaran udah pakai cincin segala?” 


“Lah, itu cincin yang di tangan lo juga dari pacar lo, kan? Siapa tuh namanya …” Kala meraba-raba ingatannya ketika Bintang tertawa lepas.


“Anjrit! I knew it! Lo suka nge-stalk gue juga, kan?” tuding Bintang kegirangan. Respons Bintang membuat Kala mengernyitkan dahinya.


“Punten banget, gue dapet kabar dari Aya. Lo kan masih follow-follow-an sama dia.” Suara Kala berubah mendingin dan membuat bahu Bintang beringsut. Malu.


“Oh iya … masih follow Rhea.” Bintang terlihat kecewa. “Elo juga kan nggak follow gue, ya?”


It’s part of the plan to grant your wish.”


“Emang gue yang bikin kita berantakan,” gumam Bintang lirih. Kala cepat-cepat berdeham kemudian mengalihkan pembicaraan. Bukannya ia tidak mendengar kalimat Bintang, namun ia tahu tidak ada gunanya mengungkit masa lalu.


“Gue belum tunangan. Ini cuman promise ring yang gue beli sama Jaja waktu jalan-jalan ke Bandung. Perempuan ini tuh unik banget. Gue ngerasa nggak ada batas kalau sama dia. Bahkan hal-hal dangdut kayak cincin ini aja gue mau lakuin kalo demi Jaja,” Kala tertawa kecil sebelum melanjutkan, “panjang banget sih perjalanan sampai ketemu Jaja. Ketemu yang nggak asik dulu, yang posesif, yang nggak paham keluarga gue, yang nggak bisa nerima kalau gue itu sayang banget sama sepupu-sepupu gue …” Kala mengambil jeda di antara kalimatnya untuk menghela napas lega, “but afterall, I met her and she’s worth the wait.”


Bintang memilih untuk diam karena hatinya sedang berkecamuk tidak karuan sekarang. Sebagian dirinya merasa lega melihat Kala sebahagia ini, tapi ada juga bagian di mana dirinya tidak rela karena ketika punya masa bersama laki-laki ini, Bintang malah sibuk menyakiti. Segala hal yang Kala deskripsikan tentang pacarnya bisa Bintang rasakan juga ketika bersama dengan Ansell. Enam tahun tidak mau berpacaran dengan siapa pun karena merasa bersalah pada Kala, pada akhirnya Bintang menemukan Ansell setelah perjalanan begitu lama. He’s also worth the wait, but Kala still has his own place in Bintang’s life.


“Lo sendiri gimana sama cowok lo? Siapa namanya?”


“Ansell,” jawab Bintang datar. “Ansell Setiajaya.”


“Wih, podcaster, kan?” Sorot mata Kala yang hangat membuat Bintang terenyuh sendiri. Kenapa mereka harus bertemu lagi dengan perasaan Bintang yang masih seperti ini? Mereka tidak bisa. Tidak akan pernah bisa.


“Iya. Ansell itu cowok pertama gue setelah sama lo.”


“Hah? Gimana maksud lo?”


Bintang mengangguk. “Pertama. Gue nggak pernah pacaran lagi setelah putus sama lo.”


“Terus Naufal?”


Mendengar nama itu, Bintang langsung menyandarkan dirinya ke sofa. Matanya menatap Kala dengan sendu, seperti ada penyesalan yang begitu menyesakkan dada. Ia kemudian bergumam, “kayaknya lo tahu deh, Kal …”


Kala tersenyum tipis.





Kal, sorry. Sorry banget.” Wajah Naufal terlihat begitu bersalah, namun lengan kekarnya masih melingkar di pinggang Bintang. Benar, Syifa Bintang Afrizal. Sahabatnya Naufal dan pacarnya Sekala.


“What the …Kala kehabisan kata-kata. Ia tidak berani mendekat. Tidak ia sangka meninggalkan Bintang dan Naufal di ruang siaran untuk beli minuman ke mini market akan berakhir setragis ini. Di hari terakhir Kala menjabat sebagai produser Kabinet Pensil Warna, di tempat kesayangannya, haruskah ia melihat pacar dan sahabatnya berciuman?


Kal, kita nggak senga-”


Kamu udah liat, kan?” tanya Bintang dengan suara bergetar. “Kamu udah liat kalo … kamu itu nggak satu-satunya, Kal. Kita nggak sespesial itu. Kita cuman pacaran karena situasi, karena sama-sama sibuk di radio dan sefrekuensi. Di luar itu …” Tubuh Bintang terguncang, namun ia tetap melanjutkan kalimatnya, “kita nggak sesempurna itu buat bertahan.


Kala menatap wajah Bintang dengan pasrah. Seakan seluruh nyawanya sudah siap dicabut oleh malaikat, seakan dirinya masih berdiri di sana dengan sisa-sisa energi kehidupan yang tidak seberapa. “Kamu maunya gimana?


Aku mau kamu pergi.” Bintang mengucapkan kalimat itu dengan intonasi paling dingin yang pernah Kala dengar. Naufal pun melepaskan lengannya dari pinggang Bintang dan mundur dua langkah. Ia menjambak rambutnya sendiri, frustasi karena harus terjebak di posisi seperti ini.


Apa?” Kala tercekat.


Aku mau kamu pergi. Aku mau kamu nggak usah berusaha hubungin aku lagi. Aku udah jauhin kamu selama sebulan ini, berharap kamu paham tapi kamu malah terus usaha. Aku capek. Lagian periode kepengurusan kita di radio juga udah selesai. Jadi hubungan ini udah nggak perlu dilanjutin lagi,” jelas Bintang.


Kala terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, “kamu sayang sama aku?”


Kal … Udahlah,” erang Bintang risi.


Kalo kamu nggak sayang sama aku, tatap mata aku dan bilang hal tadi. Bilang kalo aku emang harus pergi.


Bintang mengerang. Ia menatap langit-langit ruang siaran sambil menggigit bibirnya. Dadanya begitu sesak, namun ia harus melakukan ini. Karena ditahan sampai kapan pun, hal ini pasti akan tetap terjadi. Maka dengan sisa-sisa kekuatan dalam diri, Bintang menatap mata Kala lekat-lekat. Sayangnya tatapan itu tidak hangat seperti biasanya, namun lebih dingin dari minuman es yang dibeli Kala sebelumnya.


Aku … mau … kamu pergi. Aku nggak bisa lanjutin ini lagi.


Kala pun mengangguk pasrah. “Fine. Congratulations both of you.”


Kala, gue bisa jelasin-


Nggak usah, Fal. Bintang milih lo, gue paham. Gue yang pergi.


Kemudian Kala pun berbalik dan melangkah keluar dari ruang siaran. Sementara Bintang menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Naufal. Ia menangis hingga tak terdengar suaranya sama sekali; hatinya patah dan entah apakah bisa kembali utuh lagi.


Sebenarnya nggak perlu sekejam itu, Bin. Lo berdua kan saling sayang,” ujar Naufal sambil mengelus rambut Bintang.


Bintang menggeleng. “Kalo nggak gitu, kami akan terus balik lagi ketika jelas-jelas cuman ada jalan buntu di cerita ini.





“Terus sama Naufal masih kabar-kabaran nggak?” Kala meraih cangkir hazelnut chocolate-nya kemudian menyeruputnya sedikit. Laki-laki itu sebenarnya tidak terlalu suka minuman panas, namun ia menjadi terbiasa meminumnya karena Bintang. 


“Nggak. Tapi gue masih ngobrol sama Amel. Baru dua minggu lalu ketemu di Senayan City.”


“Amel? Udah jadi penyanyi kan dia? Mantep, jir. Nggak jadi sama Naufal malah jadi artis hahahaha.”


Bintang tersenyum miring. “Emang lo nggak pernah tahu ya masa depan bawa lo ke mana.”


Indeed.”


“Kal … kok lo nggak nanya, sih?” tanya Bintang agak heran.


Kala menaikkan kedua alisnya, ikut bingung seperti Bintang. “Nanya apaan?”


“Gue sama Naufal.”


“Oh …” senyum menyeringai itu muncul di wajah Kala. “Nggak pacaran, kan?”


“Lah, elo tahu?”


Kala mencondongkan tubuhnya ke dekat Bintang lalu mengacak rambut perempuan tersebut. Pipi Bintang pun merona. Sentuhan Kala masih terasa sama hingga hari ini.


“Naufal itu Anak Setan. Masa iya lo mau sama dia? Hahaha.”


Karena Kala tertawa renyah, Bintang jadi ikut tenggelam di dalamnya. Sorot mata hangat itu mulai muncul lagi dari mata Kala. hingga membuat Bintang terpana. Gadis itu membenarkan kardigan ungunya seraya berkata, “tuh tau … Tapi kenapa-”


“Kenapa gue nggak ngejer lo lagi? Hahaha. Anda baru kenal saya atau pura-pura lupa, yah?”


“Ih, apaan sih …”


“Gue nggak pernah nggak ikutin mau lo, Bin. Lo mau gue siaran horor, gue jabanin. Lo mau gue ikut lomba radio, gue jabanin. Lo mau gue belajar masak, gue jabanin. Lo mau gue ikutan puasa, gue jabanin. Dan terakhir lo minta gue untuk pergi,” Kala tersenyum bangga, “gue jabanin. Gue inget semua mau lo dan gue nggak akan lupa, Bin.”


“Bahkan ketika lo nggak tahu kenapa gue minta lo pergi?”


Memang kenapa kalau gue tahu alasan lo, Bin?


Apa kita bisa balik lagi?


Kala mempelajari wajah Bintang yang berubah sendu. Ia seperti merasa bahwa Bintang sedang kesakitan pada saat ini; serupa seperti tujuh tahun yang lalu. Ketika malam itu Bintang memutuskannya, ketika hari kelulusan dan Kala melewati Bintang yang sedang berfoto dengan Naufal. Kala mengalihkan pandangannya sambil terkekeh sendiri.


Nggak bisa, Bin. Nggak akan bisa.


“Ada beberapa hal yang lebih baik kita nggak pernah tahu jawabannya, Bin. Soalnya walaupun udah tahu, nggak punya pilihan lain selain biarin faktanya berlalu. Karena semua faktanya udah ada di masa lalu. Nggak guna hehehe,” sindir Kala akhirnya, tetapi tentu saja dengan kekehan kecil yang mengikuti. Matanya berlari menuju counter Starbucks yang mendadak sepi, mungkin orang sudah malas mengantre. Tetapi jika boleh jujur, diri Kala sedang meronta-ronta untuk melihat kedua manik mata cantik milik Bintang. Ia tahu Bintang sesekali berbohong pada dunia, sayangnya perempuan itu nggak pernah bisa membohonginya.


“Kok gue nggak ngerasa gitu, ya? Gue malah merasa harus tahu segala hal biar nggak menyesal, Kal.”


“Lo sama aja kayak Rhea,” Kala menaruh cangkir hazelnut chocolate-nya itu di meja lalu terkekeh kecil, “sama-sama nggak suka ketidakpastian.”


“Loh? Emang siapa deh yang suka sama hal-hal nggak pasti? You named it!” 

Kala hanya cengengesan dengan tampang seakan berkata “duh, buangin waktu.”


“Ngomong-ngomong tentang si Rhea, dia suka bahas podcast cowok lo. Katanya bahas random talk ya?”


Bintang memicingkan matanya. Mendengar Kala menyebutkan kata random barusan seakan-akan Ansell adalah orang yang nggak jelas and for particular reason, Bintang hates it. 


“Nggak random juga. Tapi dia kayak talkshow terbuka gitu. Kapan-kapan dengerinlah,” ajak Bintang dengan berusaha terdengar seringan mungkin. Padahal berat rasanya membicarakan orang lain yang disebut pacar ketika dulunya title itu adalah milik Sekala. 


“Udah pernah kok. Waktu itu si Rhea kan diundang tuh jadi narasumber. Lucu juga kalau dipikir-pikir. Dunia sesempit itu, ya, ternyata?”


Benar. Sesempit Kala yang sedang keliling H&M untuk cari kardigan baru pesanan Senja. Sebelum sampai ke kasir, ia sudah sempat melirik kardigan ungu yang digunakan oleh Bintang saat ini. Namun Kala tahu kalau dia belanja lebih banyak daripada janji, Senja akan ribut sendiri. Keduanya sedang berusaha menghemat untuk setiap pengeluaran, kecuali untuk makanan. Kala dan Senja sama-sama suka eksplorasi tempat baru dan makanan adalah salah satu self-reward bagi keduanya. Sebenarnya menghemat bukan alasan utama, sih, kenapa Kala nggak jadi ambil kardigan itu. Yang buat dia murka pada dirinya sendiri adalah ketika matanya melihat Bintang kegirangan berjalan ke kasir sambil membawa kardigan ungu di tangannya. Pada momen itu juga Kala tahu bila ia membelinya untuk Senja semuanya akan berbeda; laki-laki itu akan memikirkan Bintang ketika pacarnya mengenakan kardigan tersebut.


“Iya, gue juga aneh waktu Ansell kasih tahu hahaha. Tapi Rhea emang penulis berbakat, sih. Wajar kalau diundang ke media-media untuk jadi pembicara,” imbuh Bintang menyetujui.


“Kadang kalo lo muncul di Instagram, Rhea suka heboh sendiri. Kadang dibahas juga bareng Aga sama Senja.” 


“Senja?” Bintang mengusap tengkuknya keheranan. “Lo bahas gue sama Senja?”


Kala terperanyak kaget. “Loh? Emang lo nggak bahas gue sama Ansell?”


Keduanya tersenyum menyeringai. Geli sendiri mengetahui bahwa satu sama lain masih peduli dengan kehidupan mantannya. Padahal akhir hubungan mereka tidak baik dan Bintang kira Kala sudah menendangnya jauh-jauh.


“Yah … walau bukan gue sih yang start conversation. Karena buat gue, kita itu nggak layak disebut love story.


“Kok gitu?”


“Habis akhir ceritanya kayak tragedi.”


Bintang tertawa lepas. “Hahaha bener juga. Maaf ya, gue yang bikin akhirnya berantakan gitu.”


“Apaan, sih, maaf-maaf segala? Gue ajak lo ke Starbucks buat ngobrol, bukan buat maaf-maafan. Maafan kan kalo lo Lebaran!”


“Oh iya.” Mata Bintang berubah sayu; ia menatap lantai coklat Starbucks dengan sendu. “Gue doang ya yang Lebaran.”


Canggung, Kala pun mengalihkan topik dengan cepat. “Eh, nyokap lo apa kabar? Masih temenin bokap urus rumah sakit atau udah pensiun?”


“Doi masih kerja. Apalagi gue sama Alana udah gede gini, Kal. Kayaknya kalo nggak ada kegiatan tuh stress gitu. Tapi ke rumah sakitnya udah nggak sesering dulu. Yah, lebih sering lah masak di rumah.”


“Wiih! Asik banget!” seru Kala antusias. “Udah lama gue nggak makan masakan nyokap lo hahaha.”


“Kalo nyokap lo gimana? Lo masih suka ngerasa kesepian, nggak, sampai harus nginep di rumah Rhea?” tanya Bintang.


Raut wajah Kala pun berubah. Binar mata antusiasnya berubah menjadi tatapan kosong, seakan ada kekecewaan yang terasa namun tidak pernah terungkapkan dari bibirnya. Dari dulu keluarga Kala cukup baik untuk ukuran anak orang kaya. Namun karena baik-baik saja, kadang Kala merasa semuanya tidak nyata. Ia jadi lebih senang menghabiskan waktu di rumah Tante Alana, mamanya Rhea. Terlebih keluarganya Rhea yang kurang harmonis membuat Kala merasa punya tanggung jawab untuk menjaga Rhea dan adiknya. Rupanya baik-baik saja tidak membuat keadaan terasa membahagiakan juga; setidaknya untuk Sekala.


“Nyokap sehat,” jawab Kala singkat. “Dia kadang nanyain tentang elo.”


Bintang mengangguk kecil seraya mengalihkan pandangannya menuju eskalator dekat tempatnya duduk. Banyak orang lalu lalang dengan ekspresi yang berbeda-beda; ada yang senang, datar, marah, kecewa, lelah. Namun untuk kali ini, Bintang bingung harus memberikan ekspresi apa pada dirinya sendiri. Karena seluruh perasaan itu bercampur menjadi satu hingga ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat itu.


Pembohong lo, Kal. 


Gue tahu lo bohong.


Lo juga tahu, kan, kalau itu bohong?





Aya mau ke dapur dulu, deh, cek Kala ngapain. Lama banget manasin tomyum doang!” seru Rhea sembari beranjak dari duduknya. Bintang tujuh tahun yang lalu dengan baju seragam Pelita Jaya Radio sedang duduk di ruang keluarga rumah Kala. Biasanya mereka bertemu di luar atau di rumah Rhea, namun karena mamanya Kala sakit, maka Bintang berinisiatif untuk menjenguknya. Ini bukan kali pertama Bintang bertemu dengan perempuan berusia 48 tahun itu, namun ketegangan jelas terasa di antara keduanya. Terlebih, Rhea yang masih 15 tahun hanya punya insting untuk menyelamatkan diri sendiri, jadi tidak salah kalau dia memilih kabur ke dapur untuk menghampiri masnya.


Padahal Bintang sudah bilang tidak mau, tetapi Kala tetap bilang harus mau. Maka di sinilah Bintang, duduk berhadapan dengan Mama Kala tanpa tahu harus berkata apa.


Aya itu … udah kayak adik kandungnya Mas Kala sendiri.” Syukurlah, Mama Kala membuka percakapan. Bintang pun mengangguk-angguk kecil. “Padahal cuman sepupu, tapi Kala sayang banget sama Aya. Saking dekatnya, kalau punya uang lebih juga yang dijajanin pasti selalu Aya duluan. Dia ngerasa bertanggung jawab banget sama Aya.


Hehehe iya, Tante … Kala juga sering cerita,” sahut Bintang agak canggung. Bingung juga harus menanggapi apa.


Tapi nggak cuman di situ aja bebannya, Kala,” sambung Mama Kala, “masih ada adiknya Aya, Naila di Bandung … juga Om dan Tante. Maklum, Nak, Kala itu anak satu-satunya.”


Pasti sih, Tante. Bintang juga di rumah anak sulung, punya tanggungan Alana yang bedanya tujuh tahun. Ada rasa tanggung jawab supaya nggak ngecewain orang-orang di sekitar Bintang,” jelas Bintang mencoba mengafirmasi kalimat Mama Kala sebelumnya.


Perempuan paruh baya itu menyibakkan rambut coklatnya ke belakang. Rambutnya terlihat begitu lembut hingga ketika tertiup angin dan jatuh ke punggungnya terlihat begitu cantik dan teratur. Warnanya coklat tua seperti rambut Sekala. Sekilas Bintang mempelajari wajah Mama Kala yang begitu anggun baginya. Bulu matanya yang lentik, hidungnya mancung dan kulit putih bersihnya membuat siapa pun tidak heran bila anaknya sesempurna Sekala Eleandra Wicaksono. Gilanya, anak perempuan sempurna ini adalah pacar Bintang. How lucky Bintang to be with him?


Nak Bintang, Tante mau tanya … Apa Mas Kala-


Nggak kok, Tante. Kala nggak lanjut Kabinet di radio. Sesuai keinginan Tante sama Om, Kala mau coba internship supaya punya pengalaman baru,” potong Bintang terburu-buru.


Mama Kala terkekeh, “hahaha bukan itu, Nak.


Oh … Salah ya, Tante? Aku kira mau bahas itu. Soalnya Kala agak concern belakangan ini tentang internship.


Itu salah satunya, sih. Tapi hal itu bisa Tante tanya langsung.


Bintang tersenyum rikuh. “Eh … iya, Tante. Maaf ya, Tan, tadi langsung ngomong gitu.


Nggak apa. Tapi Tante mau tanya,” Mama Kala menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimat yang membuat Bintang ingin lari terbirit-birit dari rumah itu, “kalian cuman temenan aja, kan?


Maksud Tante?” Suara Bintang terdengar bergetar, ia bingung harus merespons bagaimana.


Iya, cuman temenan aja, kan?” tawa renyah itu terdengar lagi dari bibir Mama Kala. “Karena Tante nggak mau kalau Kala nggak ke Gereja, kecuali kamu yang ikut kami ke Gereja. Tapi Tante rasa … nggak akan mungkin, ya?


Tante …


“Jadi, Tante harap kamu tau batasan ya, Nak? Mana yang mungkin dan yang nggak mungkin. Kala itu harapan keluarga dan Tante nggak mau dia ngecewain siapa pun, apalagi Tuhannya.


Bintang terpaku di tempatnya. Ia hanya bisa tersenyum tipis selama makan bersama Kala, Rhea, dan Mama Kala di meja makan. Pikirannya melayang-layang membawanya ke tempat tertinggi di bumi kemudian dihempaskan ke dataran tanpa mengenakan parasut sama sekali. Bintang pun jatuh dan hancur berantakan ketika lelucon Kala mengisi ruang makan dan Rhea serta Mama Kala ikut tertawa.


Jadi semua orang nggak boleh kecewa karena Kala, ya?


Terus aku … nggak papa ngerasa kecewa karena dia?





“Pantes lo nggak butuh tahu alasan kenapa gue ninggalin lo, rupanya lo udah tahu sendiri ya?” serang Bintang pada akhirnya. Ia tidak kuasa lagi berpura-pura baik-baik saja. Maybe Sekala was right. It’s not a love story, it’s legitly a tragedy.


Mata Kala menatap Bintang awas, seakan ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin tidak akan berakhir sebaik yang ia mau. Sementara itu wajah Bintang sudah memerah, sebuah kebiasaan ketika dirinya marah. Warna pipinya langsung serupa dengan tomat dan matanya membelalak saking kesalnya.


“Ngomong apa, sih? Gue udah bilang nggak guna, jadi nggak usah dibahas. Gue nggak tahu apa-apa dan nggak mau tahu apa-apa.”


“Gue punya perasaan, Kal. Makanya gue pergi, karena gue tahu orang yang ninggalin akan lebih sakit daripada yang ditinggalkan. Lo bisa belajar berjalan tanpa gue, tanpa rasa bersalah. Sementara gue … Gue ya kayak gini, Kal. Tujuh tahun berlalu dan gue nggak bisa apa-apa selain ngerasa bersalah. Bersalah karena ninggalin lo, bersalah karena nggak perjuangkan kita …”


“Tapi lo bahagia, kan, sekarang?” sentak Kala dengan rahangnya yang mengeras. Laki-laki itu juga ternyata cukup terbawa suasana hingga urat-urat di lehernya mulai terlihat. “Lo bahagia, kan?”


Fu*k! Lo ngapain tanya gue bahagia atau nggak, sih? Gue udah nyakitin lo. gue udah selingkuh sama sahabat lo. Gue ninggalin lo di hari bahagia lo. Nggak pantes lo baik sama gue! Gue itu brengs*k!” Bintang mengepal kedua tangannya dengan erat; ada rasa terbakar yang menjalar di seluruh tubuhnya. Namun ada rasa lega juga di waktu yang bersamaan. Mungkin rasa kecewa dan bersalahnya sudah terlalu lama melekat dalam dirinya hingga momen ini membuatnya meledak seperti kembang api.


“Terus kalo gue jahat sama lo, apakah mengubah yang udah terjadi? Nggak, Syibin. Demi Tuhan, nggak. Elo dengan jalan lo, gue dengan jalan gue. Kalau hari itu lo nggak ninggalin gue, pada akhirnya pun kita sama-sama ninggalin, Bin …” Mata Kala mulai berkaca-kaca, hatinya runtuh seketika. “Jangan buat perpisahan kita lebih tragis lagi karena gue mau mengenang lo dengan baik. Jangan merasa bersalah lagi karena ini bukan salah siapa-siapa. Emang kita nggak bisa bareng-bareng.”


Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun, jemari Bintang digenggam dengan erat oleh seorang Sekala Eleandra Wicaksono. Keduanya saling bertatapan dengan mata yang berkaca-kaca. Kemudian saat itu juga, setelah tujuh tahun, kalimat itu akhirnya keluar juga dari mulut Bintang. Secara tulus, tanpa ada satu pun hal yang tertinggal lagi.


“Maaf ya, Kal … Gue minta maaf karena udah nyakitin lo. Tapi percayalah, gue juga sakit. Kita sama-sama sakit. Lo nggak sendirian, Kal.”


Karena sejatinya, salah satu hal yang paling menyedihkan dari putus cinta adalah hancur sendirian ketika yang sudah pergi malah berbahagia sendiri.





Dalam hidup kadang ada yang layak ditangisi dan lebih layak dibuang di bara api. Tetapi setiap hari aku selalu berdoa supaya kamu merasakan rasaku ini. Supaya setidaknya kehancuran ini terasa lebih nyata karena ditangisi berdua. Sayangnya manusia tidak cukup pintar untuk memahami bahwa hitam dan putih bukan hanya warna yang dimiliki dunia. Baik dan buruk. Panas dan dingin. Kepala dan api. Semua datang bersamaan dengan lawan katanya sendiri.


Mungkin ini yang membuat rasa cinta bisa berubah menjadi benci, dan yang seharusnya benci malah masih tetap mencintai.


Memang tidak ada yang pasti di dunia ini.





Hajar aja gue, Kal. Jangan malah diemin gue gini.


Permintaan Naufal barusan terdengar begitu dangdut di telinga Kala. Di tengah kesibukan Kala mengejar S2-nya, laki-laki itu muncul di hadapannya tanpa permisi sebelumnya. Binar matanya masih sama seperti malam itu; seakan mengatakan kata maaf berkali-kali karena mulutnya terlanjur terkunci. Tetapi karena coffee shop di kawasan Teuku Cik Ditiro malam itu terlalu semerawut membuat Kala tidak punya pilihan selain memperbolehkan laki-laki itu duduk. 


Gaya berpakaian Naufal agak berbeda sekarang, tidak terlalu sok ganteng seperti jaman masih jadi President Pelita Jaya Radio. Kalau dari landyard yang ia kenakan, sepertinya Naufal bekerja di MNC TV sekarang. Tempat idamannya sejak dahulu karena Mamanya yang gemar nonton sinetron di RCTI membuatnya punya cita-cita bikin sinetron sendiri. Kata Naufal sinetron RCTI terlalu dramatis dan kadang kurang realistis, nyerempet agak nggak mendidik karena terlalu banyak cinta-cintaan nggak penting. Belaga penting juga laki-laki itu. Padahal Kala yakin sampai saat ini dia juga belum bisa jadi manusia pada umumnya alias masih bejat walau solat.


“Sorry, nggak menerima kedangdutan,” balas Kala enteng. Suaranya selalu seringan daun yang berguguran karena angin atau cutton candy favorit Helen, sepupunya. Suara ini membuat orang seperti Naufal yang tidak berakhlak makin merasa bersalah.


Dangdut gimana sih elah? Gue udah coba hubungin lo, tapi elo nggak mau jawab!


Kala mengedikkan bahu. “Terus salah siapa? Siapa yang cium cewek sahabatnya duluan?


Naufal menunduk pasrah. Ia lalu terkekeh kecil. “Eh, ketemu aja lagi di sini. Mungkin emang udah saatnya ngebahas apa yang terjadi.


Atau mungkin nggak usah dibahas aja, sih. Udah lewat hahaha,” cibir Kala sarkas.


Nyokap lo suruh Bintang berhenti pacaran sama lo.”


Mampus. Kan bener, kan.


Seketika jantung Kala terasa terjun bebas hingga bertemu usus di bagian perutnya; cukup jauh, cukup hiperbola, tetapi benar adanya. Seakan gravitasi melepaskan ikatannya dan membebaskan siapa saja berpindah tempat tanpa permisi. Chaos.


Dan Bintang nggak bisa ngomong sama lo karena dia tahu yang nyokap lo bilang bener … Bintang nggak akan bisa ke Gereja, sementara elo nggak boleh berhenti ke sana,” lanjut Naufal. “Gue udah coba sampaikan ini ke elo berkali-kali. Di reunian, di chat, di telpon, ketemu langsung … nggak tahu deh. Tapi karena lo masih mesen coklat panas dengan nama Bintang, makanya gue berani samperin lo dan nyerocos panjang lebar.


Kala melirik cangkir di hadapannya sambil menggerutu, “da*n it. Kenapa lihat aja, sih?”


Udah gue bilangit’s a destiny.”


“No, it’s clearly a tragedy. Lagian udah lewat juga, nggak perlu dibahas lagi. Beneran deh. I’m moving on.”


Naufal mencibir, “nggak ada orang yang move on itu bilang kalo dia udah move on. Bintang tahu kalo lo tahu ini, lo akan selalu usahain dia. Dia nggak mau bikin hubungan lo sama nyokap makin renggang cuman karena hubungan yang nggak bisa ke mana-mana. Makanya dia bertingkah selama sebulan, berharap lo putusin dia. Tapi lo bucin banget, jadi … dia langsung cium gue waktu lihat lo lewat jendela ruang siaran. Elo jalan dari kantin ke ruang radio, bawa minum buat kami berdua. Niat lo mau cairin suasana karena ada gue, tapi Bintang udah nggak kuat lagi. Dia tahu lo akan lepasin dia kalo Bintang sendiri yang minta.


Karena gue nggak pernah nggak nurutin dia …”


Karena lo nggak pernah nggak nurutin dia.


Kala menghela napas begitu berat. Seakan ada sesuatu benda tajam yang menghujam dadanya, mengganggu system pernapasannya dan membuat dia kesulitan untuk menghirup udara. Terbayang bagaimana manisnya ucapan mamanya ketika meminta Bintang pergi membuat Kala semakin sakit sendiri. Bintang pasti menderita sendirian selama ini.


Kenapa sih dia nggak ngomong?” sesal Kala dengan suara tercekat.


Karena dia mau lo bisa mulai hidup lo dan ketemu sama orang yang diterima sama keluarga lo, Kal. Orang yang akan punya jalan mulus sama lo tanpa perlu ngerasa takut akan perpisahan. Itu yang dia bilang sama gue,” jelas Naufal.


Kala meraup rambutnya dengan frustasi. Matanya agak berkaca-kaca karena terbawa emosi. Selang beberapa menit, akhirnya bibir yang tadinya sempat agak kelu mulai bicara lagi. “Gue mau Bintang balik lagi.


Tapi dia nggak mau lo balik lagi,” sela Naufal sebelum Kala melanjutkan kalimatnya. “Kalau pun balik lagi, sampai mana sih kalian berdua bisa pergi?


Ya memang kami nggak punya apa-apa selain sementara, sih.


Tapi setidaknya cukup untuk saling membahagiakan walaupun bukan selamanya.





“Kita berdua tuh cuman dua orang yang terjebak sama asumsi di kepala sendiri, Bin. Sama-sama berpikir paling sakit dan sok tahu apa yang paling baik. Padahal kekurangan dari perpisahan kita adalah karena nggak ada yang bicara, makanya sampai hari ini lo merasa begitu menyesal sementara gue tetap jaga keinginan lo walaupun akhir cerita kita janggal.” Kala mempererat genggamannya pada jemari mungil Bintang. Rasanya masih sama; hangat dan membuat nyaman. Sayangnya kenyataan sudah berbeda; keduanya terikat janji dengan orang lain.


Bintang menggeleng. “Tapi tetep aja gue yang salah … gue minta maaf.”


“Gue yang harusnya minta maaf, Bin.” Kala membelai pucuk kepala Bintang dengan lembut. 


“Nyokap gue padahal udah sering ngomong ke gue, tapi guenya aja yang batu. Gue yang nggak mau dengerin sampai akhirnya dia ngomong sama lo …”


“Jadi nyokap lo nggak dukung kita?!” pekik Bintang kaget. “Kenapa lo nggak bilang? Kenapa lo malah bilang beliau suka masakan gue, Kal? Kenapa?!”


Kala menggeleng. “Gue nggak bisa … Gue nggak bisa bilang kalo beliau nggak suka sama elo. Nggak mungkin gue nyakitin lo kayak gitu.”


“Kala … maafin gue ...”


“Bintang, yang penting sekarang adalah elo udah bahagia dengan orang yang sayang sama lo. Jadi gue nggak perlu khawatir lagi kalau elo nggak hidup tenang dan nyaman. Seperti gue juga yang udah bahagia sama Senja. Jadi elo nggak perlu takut gue merasa selalu sakit dan kesepian. Gimana pun perpisahan kita, gue akan selalu mengenang hal baik di antara kita. Karena apa gunanya ingat yang buruk kalau hal baik lebih bermakna?”


Malam itu di meja Starbucks Grand Indonesia, setelah pertemuan yang tidak disengaja, kedua manusia yang pernah jatuh cinta itu akhirnya berdamai dengan masa lalunya. Sebagian dari hati masih tidak rela kalau ceritanya hanya berakhir pada kata pisah, namun bagian lainnya malah berbangga diri karena pernah melewati masa begitu lama. Hingga akhirnya kedua manusia itu sadar bahwa meski bersama bukan akhir yang mereka miliki, namun pernah dipertemukan oleh Tuhan adalah mukjizat baik bagai mimpi. Banyak orang di luar sana yang tidak pernah bertemu, tetapi mereka secara magisnya diberi waktu untuk saling menyatu.





“Mas …” panggil Bintang lirih ketika ia sampai ke rumahnya dengan mata sembab. Orang yang dipanggilnya itu sedang duduk di depan laptop seraya memakai airpods-nya. Sepertinya ia sedang mengedit podcast-nya. Namun demi Bintang, apa sih yang nggak disisikan oleh Ansell Setiajaya?


“Sayang? Udah pulang?” Suara hangat Ansell menggema mengisi seluruh ruangan. Bintang mengangguk lalu memeluk laki-laki itu erat. Sementara Ansell hanya bisa membalas dekapan Bintang dengan gerakan agak canggung, bingung juga dengan sikap pacarnya yang tiba-tiba seperti ini.


“Ada apa?”


Bintang tidak menjawab pertanyaan itu dan memilih menangis di dada bidang Ansell. Tangannya meremas sweater abu-abu Ansell yang memiliki aroma citrus favoritnya. Ansell tidak terlalu suka aroma ini, namun karena Bintang bilang suka, tidak ada penolakan dari laki-laki itu.


“Maaf ya,” bisik Bintang.


“Maaf kenapa?” tanya Ansell dengan alisnya yang bertaut.


“Maaf karena bikin kamu nunggu lama.”


Pada detik itu juga Ansell sadar bahwa Syifa Bintang Afrizal akhirnya mendapatkan momen ketenangan yang ia idam-idamkan sedari dulu. Ansell membelai rambut Bintang dengan lembut tanpa berkata apa-apa. Tetapi hal tersebut malah membuat Bintang keheranan.


“Kok nggak kasih komentar? Nanya kek.”


Ansell mengedikkan bahunya. “Nggak penting. Yang penting buat aku tuh kamu bahagia, Bin. You are happy, aren’t you?”


Yang penting sekarang adalah elo udah bahagia dengan orang yang sayang sama lo.


Kalimat Kala tadi menari-nari di benak Bintang, menemani dirinya mempelajari figur tubuh Ansell yang berada di dekapannya. Benar, yang sudah berlalu tidak perlu terlalu dipikirkan berlarut-larut. Hal yang Bintang miliki adalah saat ini, masa ini, bersama Ansell Setiajaya, pilihannya.


I’m happy when I’m with you.”


Ansell terkekeh kecil. “That’s more than enough for me.”



Jangan khawatir, Bintang pasti bahagia. Sekala juga, kan?





“Yang, atuhlah hoyong boga kardigan siga Jennie Blackpink! Si Helen share di Instagram Story tadi. Cakep bangeeet,” rengek Senja tepat setelah membuka belanjaan Kala.


Kala menatap perempuan itu dengan bergitu dalam. Diam-diam ia memperhatikan wajah Senja yang begitu manis; hidungnya mancung, matanya proporsional, bibirnya lembut dan suaranya begitu menenangkan Kala. Sebuah paket lengkap yang tidak bisa dicari di mana-mana jika Kala harus melepaskannya.


Namun bukan Senja jika tidak tahu aksi modus kekasihnya. Ia pun menjawil hidung Kala gemas. “Maneh ngapain sih? Ah, geer nih diliatin gitu.”


“Aduh, pacar aku emang nggak kaleng-kaleng, deh!” seru Kala seraya menarik Senja dalam pelukannya. “Kala sayang sama Jajaaaa.”


“Ape nih?” Senja melepaskan pelukan itu dengan kasar. “Habis ngapain lagi sih, Sekala? Belanja apa lagi, Ya Tuhan Yesus?!” 


Sentakan Senja rupanya mengundang tawa renyah Kala. Laki-laki itu tersenyum hingga kedua matanya bersembunyi. “Nggak nakal sumpah, Jaaa. Asli!”


“Bohong maneh!” seru Senja dengan logat Sundanya yang kental.


Aing teu ngibul!”


“Terus kenapa baik?” tanya Senja menyelidik.


Dengan sebuah gerakan cepat dari tangan kanannya, Kala membelai rambut Senja dengan lembut sebelum akhirnya dia berkata, “hari ini aku sadar kalau kita harus lewatin masa lalu yang kelam untuk ketemu hal baik di masa depan. Jujur, aku kadang suka sedih dan kecewa kalo inget yang dulu-dulu, Yang. Tapi kalau inget masa depannya kayak kamu sih,” Kala mencengir sambil tertawa geli, “I don’t mind. Because you’re worth any tragedy that I should’ve been through before I found you.”


Mendengar gombalan Kala, sebuah ciuman singkat mendarat di bibir laki-laki itu. Kedua pasang mata mereka pun bertemu dalam diam, seakan saling menyelami pikiran masing-masing yang sudah terlanjur transparan.


“Dia baik-baik aja?”


Kala mengangguk.


“Jadi kamu bisa lebih baik-baik aja sekarang?”


“Iya.”


“Kita nggak perlu dibayangi sama cerita tentang dia?”


Kala tersenyum lebar. “Nggak, Ja. Nggak. Udah selesai.”


Good,” ujar Senja. “Selamat sudah melepaskan yang harus dilepaskan, Mas Kala Sayang.”



Selamat tinggal juga, Sekalanya Bintang.





Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca cerita pendek ini! Cerita pendek ini ditulis sebagai side story dari kisah Bintang dan Sekala yang sudah sering diungkit-ungkit di Between The Line, It Was Until It Wasn’t dan juga What If yang bisa dibaca di aplikasi Joylada. Kamu bisa membacanya secara terpisah dengan ketiga cerita tadi.  Semoga teman-teman cukup terhibur ya dengan side story Bintang dan Sekala ini! 

1 komentar:

  1. this is the best short story i've ever read! seriously. Kak titii huhu����

    BalasHapus

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.