Overlook episode 2
Tuhan dan semesta alam tidak pernah bercanda.
Karena setiap rencana-Nya pasti punya alasan.
Seperti ketika kita, dua orang yang tidak mengenal menjadi mengenal.
Atau ketika kita, dua orang yang saling peduli tapi tidak bisa terus menyayangi.
***
Cerita sebelumnya..
PLAYLIST EPISODE 2
1. Half a Heart - One Direction
2. Is it Over - Nina
PLAYLIST EPISODE 2
1. Half a Heart - One Direction
2. Is it Over - Nina
"Gila UTS nya susah banget."
Suara itu sukses membuatku cukup terkaget dan berbalik arah menujunya. Seorang laki laki dengan hoodie merah berdiri di hadapanku sambil menyibakkan rambutnya yang sudah terlalu panjang. Kantung matanya kini bukan hanya hitam, namun berhasil menyembunyikan mata kecilnya. Aku tertawa kecil, padahal aku kira dia tidak akan muncul di hadapanku lagi mengingat jam 1 siang nanti dia harus ke BSD untuk menghadiri sebuah acara.
"Kok masih disini, Gib? Kapan berangkat ke BSD?" Tanyaku sambil menyentuh rambutnya. Ia menepis jemariku sambil mengangkat bahu, "tau tuh, aku masih nunggu HT." Bukan hal yang aneh bagiku untuk menerima penolakan macam ini dari Gibran. Menyentuh rambutnya bukanlah hal yang ia sukai, tapi membuatnya kesal menjadi kesenangan tersendiri bagiku.
"Kamu makan dulu... Jangan lupa makan..."
Sambil bermain iPhone-nya, ia menjawab asal asalan, "hmm iya iya.."
"Kalo ada sempet waktu istirahat ya istirahat."
"Aku buka HP ya, tapi aku gak bisa bales chat kamu."
"Bukan gak bisa," aku tertawa kecil, "kamu gak mau.."
"Hehehe.. Tau sendiri kan acara menjelang Ramadhan kayak gini pasti rame banget. Hectic."
Aku mengerutkan dahi, "kalo nanti kamu puasa pasti kamu tambah kurus lagi."
"Ya.. Ya mau gimana lagi."
Kami berdua tertawa bersama lalu terdiam beberapa saat.
Melihat Gibran sibuk bukan lagi hal yang asing bagiku. Malahan aku merasa aneh jika dia diam di rumah tanpa melakukan apapun. Gibran senang sekali aktif di acara acara keagamaan. Tidak hanya menjadi seorang konseptor acara, ia juga bertindak sebagai pengisinya. Seringkali aku datang ke beberapa acara di mana Gibran dan teman teman SMA nya akan menyanyikan lagu rohani dalam format band akustik.
Gibran dan segala hal yang menyenangkan untuk aku telusuri meski aku tahu seringkali aku tidak pernah cocok dalam dunianya. Aku tidak mengerti dengan kewajibannya solat 5 waktu ataupun mengaji di malam Jum'at bersama teman temannya. Gibran dan segala keunikannya tidak pernah membuatku bosan dengannya. Tapi setelah hampir 2 tahun kami bersama dengan hubungan yang tidak jelas seperti ini, aku sering bertanya tanya, pernah gak ya dia menyerah dan berpikir meninggalkanku?
Alih alih terus berpikir negatif, aku berujar, "kalo sempet.. Kabarin aku ya."
Namun kali ini Gibran tidak menjawab, ia terus memainkan handphone-nya tanpa melihat ke arahku. Aku menghela napas panjang, sampai kapan Gibran mau begini terus? Tapi aku melarang diriku mengeluh kepadanya. Karena semakin aku meminta, semakin jauh pula Gibran dari pandangan mata. Aku memandangi wajah serius Gibran sembari mencoba menguatkan diriku. Tidak apa bila Gibran sibuk. Tidak apa.. Tidak apa.. Yang penting dia ada.. Yang penting dia tidak kemana-mana..
Seketika hembusan angin yang cukup kencang membuat mataku terasa agak perih Kurasakan mataku berkedip sekali, seperti manusia sewajarnya. Namun ketika aku berusaha memfokuskan pandanganku, aku terperanjat dan menemukan diriku terduduk di tempat tidur dengan piyama yang masih terpakai dan handphone-ku yang berdering kencang. Gendoran pintu yang terdengar begitu kasar serta hentakan Ko Gerry dari luar untuk membangunkanku terasa jauh lebih nyata dari suara Gibran yang tadi kudengar.
Gibran..
Aku tadi bertemu Gibran..
Aku bertemu dengannya.
***
Setelah satu minggu kerja di Zuma PR Consultant, aku masih belum bertemu dengan teman sekantorku. Sering kudengar Kak Andrea dan beberapa teman kerjaku di lantai dua menyebut nyebut nama Putra ketika kami meeting. Usut punya usut teman satu kantorku ini sudah melamar lebih dahulu di kantor ini walau seharusnya jadwal masuknya bersamaan denganku. Tapi karena sakit yang dideritanya, ia harus masuk rumah sakit dan bedrest selama 3 hari. Sesuai jadwalnya, harusnya hari ini cowok itu sudah masuk dan menemaniku di lantai 3.
Duh, believe me, I'm not that scared to stay here alone. Tapi lantai 3 ruko ini rasanya besar sekali dengan 3 ruang kerja, satu ruang utama dan toilet untukku tinggali sendiri dari jam 8 pagi sampai 5 sore. Terlebih aku belum dapat client-ku, sehingga aku masih membantu pekerjaan teman teman di bawah. Kadang untuk membunuh sepi, aku menyalakan lagu dari Spotify-ku dan mengatur volumenya keras keras. Setidaknya aku merasa hidup walau hanya ditemani dengan musik dan tumpukan pekerjaan di minggu pertamaku.
Bicara tentang hidupku, setelah resmi menjadi sarjana komunikasi bidang Public Relations di 2015, aku memfokuskan diri pada perkerjaanku di Event Organizer. Hidupku penuh dengan kesibukan tanpa henti; berangkat pagi pulang pagi bukan lagi hal yang aneh. Untungnya Mama dan Papa tidak terlalu bermasalah karena Ko Gerry yang juga hidup di dunia periklanan punya pola kehidupan yang hampir sama denganku. Walaupun sibuk seperti itu, aku masih punya waktu untuk keluarga dan juga teman temanku. Setidaknya sebulan sekali aku menghindari job di waktu weekend dan pergi bersama Mama, Papa dan Koko atau sekedar berbelanja dengan Sarah dan beberapa teman lainnya.
Before you ask me, let me explain it first. Aku memang tidak punya banyak teman dekat. As time goes by, aku menyadari bahwa memagari diri dan mengelompokkan pertemanan akan jauh lebih mudah untukku daripada menganggap semuanya istimewa. Apalagi setelah aku berpisah dengan Gibran, banyak hal yang aku lakukan mendapat respon yang tidak semuanya positif dari sahabat sahabatku. Saat aku dan Gibran berpisah, aku masih di semester 5 dan Gibran sudah mulai menulis skripsinya. Aku menyibukkan diri dengan bekerja di Event Organizer, menjadi Master of Ceremony di beberapa acara dan berolahraga secara rutin. Aku benar benar tidak punya waktu lagi untuk duduk diam di rumah atau sekedar pergi ngopi bersama teman teman.
Hal itu membuat banyak temanku menarik diri karena menganggap aku telah diperbudak oleh rasa patah hati akibat ditinggalkan Gibran. Tentu saja kepergian mereka menambah beban hatiku, namun seiring dengan berjalannya waktu aku menyadari bahwa setiap orang pasti berubah dan berusaha memperbaiki diri mereka masing masing. Jadi apapun yang aku lakukan sekarang, walaupun niat awalnya untuk menyibukkan diri pasca berpisah dari hubungan tanpa status itu, tapi aku berubah lebih produktif dan positif.
Hanya Sarah dan segelintir teman lain yang bisa menerimaku dengan segala keputusanku. Banyak di antaranya yang memilih untuk menutup telinga dan pergi. Tapi kejujuran akan segala hal yang aku rasakan hanya kubagikan kepada Sarah. Sarah adalah satu satunya orang yang berani menggebrak mejaku dan berhasil membuatku jujur akan perasaanku pada Gibran; iya, aku tidak rela.
Bahkan jika aku melihat ke belakang lagi, aku masih akan mengatakan kalimat yang sama. Aku tidak rela. Sudah beberapa kali aku pacaran dengan orang lain, namun menurutku masih Gibran yang tidak pernah bisa aku lupakan. Masih ia yang jadi tolak ukurku dalam memilih seseorang. Masih ia yang jadi bahan pertimbanganku dalam memilih sesuatu dalam hidupku.
Meski warna abu abunya sudah berubah lebih pasti, meski ia kini tidak ada lagi. Tapi masih Gibran, dan akan selalu Gibran... Dan tidak perlu ada yang tahu perasaan ini. Karena ia memang tidak akan pernah kembali.
***
"Press release lu cakep juga, Na." Ujar Mba Salma, sekretaris umum PR Consultant-ku. Aku hanya tersenyum.
"Yah.. Masih inget lah kerjaan jaman kuliah."
"Lho emang di EO kalo launching product bukan elu yang megang?" Tanya Kak Anggia, salah satu PR Officer juga sepertiku. Tapi Kak Anggia mendapat ruangan di lantai 2, sehingga kami jarang bertemu kecuali menjelang makan siang seperti ini.
Aku tertawa kecil, "dibilang enggak juga yah.. Gak juga, tapi aku emang lebih ke konseptor dan eksekutor. Aku gak terlalu megang administrasi dan tetek bengek macam gini, Kak."
"Good to know-lah.. Eh kita mau pada delivery makanan nih, ada saran?"
Aku melirik jam tanganku lalu menggeleng kecil, "maaf Mba, ada janji makan siang sama temen. Deket sini kok."
"Temen apa temen..." Goda Kak Andrea yang tiba tiba muncul dari belakangku.
"Yeee, temenku kok, Kak!"
Mba Salma mengangguk angguk, "iya kita percaya kok, Lana.. Udah sana, balik sebelum setengah 2 ya. Kita ada meeting. Temen sekantor lu nanti dateng kok, tadi pagi dia ngurus account kantor dulu di bank."
Aku agak tersentak kecil, entah kaget atau tidak sabar karena penasaran siapa yang tega membiarkannya seminggu penuh sendirian di lantai 3. "Oh, okay. Anyway ojekku udah di depan nih.. Have a good lunch ya!"
"Siap, see you, Revina Lana!" Sahut Kak Andrea.
Aku mengangguk kecil lalu berlalu menuruni tangga menuju lantai dasar. Beberapa kali berhenti untuk menyapa teman sekantor lalu melanjutkan perjalanan. Sejujurnya hari ini aku hanya ingin pergi sendiri, menikmati Sour Sally dengan topping kesukaanku dan membeli Dum Dum Thai Tea dalam perjalanan pulang. Persetan dengan program diet yang harusnya aku lakukan, aku hanya ingin punya me time tanpa pekerjaan selama satu jam ke depan! Sembari menghubungi abang ojek yang sudah kupesan lewat aplikasi online, tiba-tiba saja aku teringat seseorang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi hari ini, kenapa dirinya muncul begitu saja di kepalaku?
Bukan, bukan lagi karena aku melihat sesuatu yang membuatku teringat padanya atau karena ada de javu yang aku rasakan lagi kala aku sedang beraktivitas. Hanya saja.. Gibran.. Gibran.. Kenapa rasanya begitu dekat...
Seiring dengan aku membuka pintu kantorku, suara seorang laki - laki memanggilku jelas berhasil membuyarkan seluruh pertanyaan konyol tentang kedatangan Gibran hari ini di kepalaku. "Mba Revina Lana.. Ke Gandaria City ya?"
Aku berjalan menghampiri bapak ojek itu sambil mengangguk. Bapak tersebut menatapku dengan ramah sembari menyodorkan helmnya. "Pakai masker Mba?" Tanyanya pelan. Aku mengangguk, "boleh Pak.. Tumben ya Jakarta gak panas." Ujarku seraya mengenakan helm kemudian masker berwarna hijau.
"Iya Mba, udah Mba berangkat?" Tanyanya seakan akan menyuruhku untuk segera naik. Aku tertawa kecil, "iya Pak."
Ketika aku sedang berusaha naik ke motor itu, tiba tiba ada sebuah motor ojek online yang datang bersama seorang laki laki sebagai penumpangnya. Laki laki itu mengenakan kemeja putih dengan boomer hitam dan masker yang serupa denganku. Ia melepaskan helmnya lalu berujar, "sudah sampai Pak di kantor saya. Makasih ya Pak." seraya menyodorkan helm tersebut dan uang bayarannya.
Bapak itu membuka kaca helmnya lalu berkata, "siap, Mas Gibran. Sama-sama."
Di saat yang bersamaan, abang ojekku berseru, "Mba, jalan sekarang ya!"
Seiring dengan laki laki itu membuka maskernya dan berjalan masuk ke dalam kantorku, motor Honda Beat hitam ini telah melaju dan membawaku pergi meninggalkan kawasan ruko kantorku. Aku terperanjat, berusaha bernapas dengan normal namun rasanya paru paru ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Aku menjerit dalam hati, tidak mungkin!
Tuhan dan semesta alam sebercanda ini lagi.
To be continued...
***
Ketika kamu harus bekerja di lingkungan yang sama dengan orang yang kamu rindukan namun sekedar menyapa pun kamu tidak bisa, apa yang akan kamu lakukan?
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}