Overlook episode 3

Sometimes the hardest part isn't letting go
but rather learning to start over.

***




1. Sempat Memiliki - Yovie & Nuno


"Revina Lana, perkenalkan ini Gibran Putra Rayya. Dia akan jadi teman satu kantor kamu. Dulunya dia bekerja di Advertising Agency. Iya kan Gibran?" Tanya Kak Andrea meyakinkan lagi kepada laki laki yang berdiri tepat di hadapanku. 

Dia tertawa kecil sambil mengangguk, "Iya Kak. It's pleasure to see you again, Lana." Ucap Gibran sembari menyodorkan tangannya padaku. Aku pun menyambut tangannya dan kami bersalaman beberapa detik. "Nice to meet you here, Gibran."

Kak Andrea menatap kami berdua beberapa saat sambil mengerutkan dahinya, "oh well.. I guess you guys have known each other, right? I thought Lana won't recognize you, Gib. I mean.. Because you guys weren't in the same batch back then." Ujarnya heran.

Gibran dan segala gesturnya, masih sama dengan apa yang tersisa diingatanku sejak hari pertama kami bertemu di seminar itu. Sikap salah tingkahnya terlalu terlihat lewat tawa canggungnya, pipinya yang memerah serta tangan kanannya yang bergerak menyibakkan rambutnya. Padahal aku yakin Gibran sudah menata rambutnya sebaik mungkin, tapi karena malu, ia pun menyibakkannya lagi. I'm trying to play cool, you know. I really hope he doesn't realize my feelings. Aku benar benar gugup sekarang, seriously! Ini lebih gugup dari hari pertama interview, hari masuk ke ruang sidang atau hari hari besar lainnya. I can't imagine what's Sarah reaction to this story.

"Ya.. Hanya kenalan kakak tingkat biasa." Ujarku sambil tersenyum ramah, "no big deal."
Gibran menoleh, "iya. We used to share story.. together.
"Okay, guess this bit personal, ya.. I'll leave you guys with the work list, cek di e-mail masing masing. Have a good day, kalian satu tim jadi kami sangat mengharapkan hasil kerja terbaik." Sahut Kak Andrea sambil menepuk kedua bahu kami lalu berlalu meninggalkan ruangan kami.

Aku dan Gibran sama sama terpaku melihat satu sama lain. Tampaknya Gibran juga tidak percaya menemukanku disini. Bahkan setelah aku berpikir berulang ulang kali dari detik aku berpapasan dengannya di ojek tadi sampai meeting berakhir dan Kak Andrea secara lebih resmi memperkenalkannya padaku, aku tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Kenapa? Kenapa dia muncul lagi kali ini? Untuk apa? 

Lagi - lagi kami berdua memainkan permainan yang sama seperti dulu saat masih berkuliah; siapa yang lebih kuat dari siapa. But now, I ended it up. Aku menyerah kala kami berdua tidak ada yang membuka mulut dan bicara. Aku kembali duduk di mejaku dan membuka MacBook biruku. Sementara ia terdengar menghela nafas kecil, duduk di mejanya dan merapihkan barang barangnya.

Aku menoleh sambil memperhatikannya. Gibran Putra Rayya, duduk di sampingku, satu tim denganku dan aku tidak tahu harus bicara tentang apa. Apakah ini yang Ko Gerry rasakan saat Luna masuk ke kantornya?

Warna MacBook-nya tidak lagi abu - abu, namun navy blue sama seperti warna favoritnya. Di tangan kirinya kini terpasang jam berwarna coklat tua dan kini... Oh wait, dia memakai kaca mata? Things that he always avoided before. Aku ingat sekali aku pernah menceramahinya untuk menjaga kesehatan mata karena ia terlalu sering berada di depan layar laptop dan beberapa tahun kemudian dia benar benar memakai kaca mata untuk bekerja.

Gibran tampak lebih dewasa dan serius sekarang -serius dalam artian dia tidak bicara banyak tadi dan masih berwibawa seperti pertama kali aku mengenalnya. Rambutnya masih ia tata sesuai gaya kesukaannya, tidak terlalu panjang tapi membuat wajahnya tampak menawan. Gibran dan segala hal di dirinya masih saja membuatku terpana sampai - sampai...

Oke, dia sadar aku memperhatikannya. Good job, Revina Lana.

"Kenapa kok liatin aja?" Suaranya tampak menahan tawa namun sekaligus berusaha untuk tetap terlihat cool. This man never changed, selalu berusaha menutupi perasaan hatinya. Kenapa sih tidak jujur saja? I mean, come on, memangnya dia berharap saya masih suka sama dia? After all those shits he had been throwing up to me? No, of course.
"Engg.. Enggak. Cuman kaget aja."
"Me either."

Aku langsung kembali menatap layarku dan membuka e-mail dari Kak Andrea, berusaha terlihat sibuk sambil menutupi rasa maluku karena ketahuan memperhatikannya. Namun sayangnya Gibran tidak membiarkanku tenang begitu saja, ia pun membuka percakapan dengan berujar, "Nyokap apa kabar? Ko Gerry? Bokap? Toko bunga kamu?"

Please, why, Gibran?

***

Right away, I texted Sarah and ask her for dinner. 9 pm on dots at Ropang Plus Plus Pluit. Aku rela menempuh perjalanan super macet dari kawasan Kuningan ke Pluit demi menghampiri Sarah yang sedang ada meeting di daerah sana. Aku benar benar membutuhkan Sarah untuk bicara tentang apa yang terjadi hari ini.


Sebelum jam 9, aku sudah sampai di tempat kami janjian lalu langsung mencari tempat duduk. Kurasa aku tidak bisa memakai otakku sejak kejadian tadi siang. Baru 4 jam duduk bersebelahan dengan mantan yang tidak pernah berstatus mantan saja sudah membuatku gila. Bagaimana hari hariku ke depan?

Hatiku masih saja berdegup kencang kala mendengar suara tawanya dan caranya bertanya padaku. Aku dan Gibran hanya bicara tentang kehidupan kita selama beberapa tahun belakangan ini, tapi rasanya kok masih saja canggung tidak berkesudahan?

Sarah datang beberapa saat kemudian dengan tas laptop di tangan kanan dan tas tangan di tangan kirinya. The busiest woman on earth finally come! Ia langsung duduk di hadapanku dan tanpa basa basi meneguk minumanku. Setelah ia terlihat agak tenang, aku baru bicara, "so how's work?"

"Gila ya lo Revina Lana Allezia Wijaya! Besok gue ada flight ke Singapura jam 7 pagi dan gue masih diculik ke Ropang Plus Plus! Pokoknya gue gak mau tau, kalo cerita lo gak seru, we're done! Eh, apa tuh kata Giby dulu? Ugh.. I'm done!" Cecarnya dengan mata bersemangat dan menyala-nyala. 

Sarah selalu bisa membuatku tertawa. "Berisik ya lo.. Ini semua gara gara lo dan Koko. Masa dia kerja di tempat gue? Lo bayangin dong gimana kagetnya gue, Sar.."
"Terus dia gimana? Masih freak gak kayak dulu?" Tanya Sarah sambil tertawa.
"Heh, mana ada cowok gue freak! Dia ganteng kok, as the old days."
"He never been that handsome, tho.. Berkharisma sih iya, tapi ganteng bukan kata yang tepat. Sorry to say." Cibir Sarah. Aku sontak menoyor kepalanya.
"It's because he's not your type! Actually, the conversation still on the track, tapi dia nanya sesuatu..."

Aku pun menceritakan hal yang terjadi hari ini pada Sarah dari pertemuan kami di ojek, cara Gibran menatapku di meeting, perkenalan kami di ruanganku sampai satu pertanyaan yang membuat hatiku gelisah tak karuan seperti ini. Selama aku bercerita, Sarah telah menghabiskan roti bakarku sambil mendengarkan dengan saksama.

"Jadi lo sampe jauh jauh ke Pluit gini cuman gara gara diajak makan lagi?" Tanya Sarah setelah aku selesai bercerita. Aku menggeleng, "kok lu gak peka sih Sar? Maksud gue bukan itu."
"Ya apa dong.."
"Bercandaan dia -dia yang bilang, 'gila kita gak sempet anniversary ke dua tahun ya waktu itu.' Sumpah ya.. Dia lho yang ninggalin gue."
"Lagian lo tahu kan alasan dia ninggalin lo? Ya karena kalian udah gak cocok lagi pada saat itu. Lo juga udah capek sama Gibran yang gak pernah mau kasih kejelasan tapi pake konsep jalanin aja. Sementara Gibran juga menyerah sama sikap lo dan segala hal yang gak cocok buat dia.."
"Kan dia yang ngajak temanan aja.. Kenapa masih dibahas gitu?"

"Na.. Ini tuh gak penting. Serius deh, apapun yang terjadi di masa lalu udah gak ada hubungannya sama lo dan Gibran sekarang. Faktanya lo harus jadi partner kerja dia dan be professional. Bukalah lembaran baru, its been years. Masa lo masih menyangkutkan apapun yang terjadi sekarang dengan masa lalu? Dia gak ada lagi di orbit lo.."

"Tapi Sar, lo tahu kan gimana susahnya gue move on dari dia? Bahkan gue selalu mimpiin dia, gue selalu inget dia. Tiap deket sama cowok yang gue bandingin tuh ya sama dia-"
"Gini deh, Gibran udah ada di depan mata lo. Mau lo sekarang gimana?" Tanya Sarah.
Aku menggeleng, "gue gak tahu.. Gue gak tahu harus seneng atau sedih. Tapi pas di perjalanan tadi, gue inget Gibran baik baik aja dan gue jadi inget saat saat gue jatuh tanpa dia. Sekarang ketika gue udah ada di atas, gue udah mulai lupain masa lalu gue,
ngapain sih Gibran muncul lagi di hidup gue?"

Sarah mengangguk angguk kecil lalu meraih tanganku, "waktunya lo mendewasakan diri lo, Lana. Lo gak bisa selalu lihat ke belakang. Kalo lo merasa lo masih sayang sama Gibran, ya mulai lagi, halaman baru, bukan berusaha memperbaiki yang lama. Karena apa yang udah pecah mau direkatkan gimanapun caranya hasilnya gak akan sama. Tapi kalo lo merasa sudah cukup bersama dia, berhenti lihat masa lalu terus. Dia aja baik baik aja kok. Masa lo masih begini?"


***

Obrolan 2 jam dengan Sarah benar benar membuatku berpikir keras. Sarah berhasil membuatku meneguhkan diri untuk membuat dinding pembatas antar kami berdua. Kurasa setelah segala hal yang Gibran lakukan, tidak semestinya aku terus berpikir untuk kembali dengannya. Lagi pula kami telah berpisah cukup lama. Pasti perasaan rindu ini hanya perasaan sementara.

Aku memutuskan untuk mematikan handphoneku dan bergegas tidur. Namun seperti biasanya, aku menyempatkan diri untuk membuka buka sosial media, sekedar untuk memeriksa kehidupan di luar kantor selama aku sibuk bekerja tadi. Tiba tiba handphoneku bergetar tanda pesan masuk.

Gibran Putra Rayya: Na
Gibran Putra Rayya: Lagi dimana?

Aku sontak menyerengitkan dahi ketika mendapati namanya muncul dari aplikasi WhatsApp-ku. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku menemukan nama Gibran Putra Rayya mengirimiku pesan singkat seperti itu. Sekarang pukul 23.43 malam dan cowok ini mengirimiku pesan? Aku menemukan diriku tertawa nyinyir lalu membuka chat room dengan Gibran.

Revina Lana Allezia: Rumah

Kurasa hubungan antar teman sekantor tidak perlu terlalu akrab kan? Kurang dari 2 menit, nama itu kembali muncul di notifikasiku.

Gibran Putra Rayya: Sibuk gak?
Gibran Putra Rayya: Gue gak ada kerjaan nih.

"Apaan sih." Ujarku sinis. Aku mengetik dengan cepat.

Revina Lana Allezia: Kalo gak ada kerjaan, besok gue kasih.

Gibran langsung membaca pesan tersebut. Setelah 5 menit, ia masih belum membalas juga. Ugh.. Mungkin terlalu jutek ya?

Revina Lana Allezia: :p

Gibran Putra Rayya is typing...

Gibran Putra Rayya: Maksud gue..
Revina Lana Allezia: Apa? Mau telponan?

"Shit, murah banget sih lo, Lana!" Geurutuku setelah mengirimkan pesan itu. Selang beberapa menit, handphone-ku bergetar dan namanya ada di layar. 

Gibran Putra Rayya is calling you.

Satu..
Dua..
Tiga..

Maaf Sarah, gue lemah. Gue masih sayang dia.

"Apaan sih ganggu ganggu." Bentakku sambil menahan tawa. Kurasakan yang disebrang sama salah tingkahnya, lalu kami bicara sampai fajar hampir tiba.



To be continued...


***

Sebulan yang lalu, kita bertemu.
Hari ini, kita bertemu.
Tapi.. 
Bukan hanya keadaan yang berbeda.
Tapi rasanya juga gak sama lagi;)

2 komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.