[SHORT STORY] Liverpool Girl
Selamat Pagi, Bandung yang mendung.
Hujan lebat semalam disambung dengan gerimis kecil pagi ini seperti mendukung suasana hatiku. Aku masih belum bisa mengalihkan pikiranku dari status BlackBerry Messanger-nya. R? Siapa R? Sejak kapan dia jadi terang terangan seperti ini?
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memeluk jaket pemberiannya yang bertuliskan Liverpool. Kami berdua memang sama sama menyukai klub Liverpool. Tapi beberapa hari ini kuperhatikan dia lebih sering memerhatikan Real Madrid.
Dia berubah dan menjauh. Entah kenapa.
Aku memilih untuk melewatkan kelas pertamaku dan duduk di salah satu sudut taman sekolah. Sekolahku memiliki SKS seperti kuliah dan setiap kelas memiliki jam yang berbeda. Karena aku memilih kelas IPA dan gadis itu memilih kelas IPS, kami jadi jarang bertemu.
Tapi aku tahu dia memperhatikanku. Aku tahu dia dulu menyukai sahabatku, Remi Ananda Fachri. Namun semenjak 6 bulan yang lalu, setelah hari ulang tahunku aku baru sadar bahwa gadis itu sudah berpindah hati padaku.
Dia berbeda. Dia tampak misterius dengan senyumnya yang sedikit terpaksa di tengah tengah kelas penyesuaian saat semester satu lalu. Iya, sistem SMA sekarang memang benar benar berbeda. Saat masuk pertama kali selama 6 bulan masuk kelas penyesuaian dan selanjutnya memilih kelas jurusan yang memiliki sistem SKS.
Dan aku selalu duduk di sampingnya saat kelas penyesuaian.
Dia satu SD dengan Remi dan aku tahu Remi pernah menyukainya. Tapi karena gadis itu masih menutup diri, Remi meninggalkan gadis itu. Aku memperhatikan dia. Dia begitu terpukul saat Remi menjauhinya.
Lalu entah bagaimana, seorang Ramadhana Afrizal tiba tiba menjadi dekat dengan gadis itu.
Aku nyaman dengannya. Kami punya topik pembicaraan yang asyik dan gadis itu suka Liverpool. Gadis itu manis dan mau membantuku. Dia sangat perhatian. Lama kelamaan aku sadar perhatiannya berubah menjadi perasaan yang berbeda.
Dan sejujurnya, aku juga punya perasaan yang sama. Hanya saja.....
Tiba-tiba Vika menepuk pundakku lalu tertawa kecil. "Ram, lagi ngapain?" Tanyanya.
"Skip kelas kimia, gue capek banget." Kataku sambil melepas earphone-ku. "Vika ngapain lagi gak masuk kelas?" Tanyaku heran. Yang ditanya malah cengengesan.
Gadis itu lalu duduk disampingku. Namanya Nauvika Rahmadania. Bukan, dia bukan gadis yang semenjak tadi aku bicarakan. Dia sahabatku dan kami berada di kelas penyesuaian yang sama.
"Biasalah gue ada kelas Ekonomi dan belum ngerjain tugas.. Hahaha."
Aku tertawa. "Biasa banget deh.."
"Eh iya, anak 10-2 jam ke 3 pada banyak yang kosong. Mau ngumpul nih. Ikut yuk!" Ajak Vika sambil memasukan iPhone-nya ke dalam tas. 10-2... Pasti ada gadis itu.
"Enggak ah, lagi pengen sendiri."
"Rama sendiri pasti gak sekedar bolos kan?"
Oh yeah, Vika selalu tahu apa yang aku fikirkan.
"Eum.. As you see.."
Vika terkekeh. "Pasti karena dia ya?"
"Iya, jadi jauh sekarang entah kenapa."
"Lo tahu kenapa dia jauh sekarang sama lo?"
Aku menatapnya heran. "Kenapa?"
"Karena elo terlalu lama, Rama."
Ups. Vika lalu tertawa kecil sementara otakku terus memikirkan tentang kata kata Vika. Mungkin benar aku terlalu lama bergerak. Mungkin yang ada di status BBM nya....
"Vik?" Panggilku pelan.
"Apa gue punya kesempatan?" Tanyaku sambil menatapnya dalam dalam. Vika tampak kaget dan membenarkan poninya yang berterbangan karena angin.
"Kenapa elo nanya kayak gitu? Lo mau maju sekarang?" Tanya Vika heran.
Aku menghela nafas panjang. "Apa itu salah? Lebih baik terlambatkan daripada tidak sama sekali?" Tanyaku kesal. Vika tersenyum. Ia lalu membuka Blackberry-nya. Aku mengacak acak rambutku, frustasi akan tingkah Vika yang seperti ini. Aku kira Vika akan mendukungku.
Vika menarik nafas panjang. "Gue seneng akhirnya lo mau bertindak. Cuman......" Vika menyodorkan Blackberry-nya lalu menghela nafas. "Gue gak yakin, Ram."
Aku meraih Blackberry itu dan tersenyum kecil ketika kudapati Vika juga memperhatikan status BBM Maudy. "R kan bisa aja gue, Vik." Kataku sambil berusaha tertawa.
Vika menoleh. "Gue udah bilang berkali kali, lo punya social media di pake, kek. Gak perlu selalu update, tapi perdulilah sama sekitar lo, Ram. Lo jadi gak update gitu kan."
Aku menghela nafas. Mungkin aku sudah kehilangan kesempatan ya?
Hujan lebat semalam disambung dengan gerimis kecil pagi ini seperti mendukung suasana hatiku. Aku masih belum bisa mengalihkan pikiranku dari status BlackBerry Messanger-nya. R? Siapa R? Sejak kapan dia jadi terang terangan seperti ini?
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memeluk jaket pemberiannya yang bertuliskan Liverpool. Kami berdua memang sama sama menyukai klub Liverpool. Tapi beberapa hari ini kuperhatikan dia lebih sering memerhatikan Real Madrid.
Dia berubah dan menjauh. Entah kenapa.
Aku memilih untuk melewatkan kelas pertamaku dan duduk di salah satu sudut taman sekolah. Sekolahku memiliki SKS seperti kuliah dan setiap kelas memiliki jam yang berbeda. Karena aku memilih kelas IPA dan gadis itu memilih kelas IPS, kami jadi jarang bertemu.
Tapi aku tahu dia memperhatikanku. Aku tahu dia dulu menyukai sahabatku, Remi Ananda Fachri. Namun semenjak 6 bulan yang lalu, setelah hari ulang tahunku aku baru sadar bahwa gadis itu sudah berpindah hati padaku.
Dia berbeda. Dia tampak misterius dengan senyumnya yang sedikit terpaksa di tengah tengah kelas penyesuaian saat semester satu lalu. Iya, sistem SMA sekarang memang benar benar berbeda. Saat masuk pertama kali selama 6 bulan masuk kelas penyesuaian dan selanjutnya memilih kelas jurusan yang memiliki sistem SKS.
Dan aku selalu duduk di sampingnya saat kelas penyesuaian.
Dia satu SD dengan Remi dan aku tahu Remi pernah menyukainya. Tapi karena gadis itu masih menutup diri, Remi meninggalkan gadis itu. Aku memperhatikan dia. Dia begitu terpukul saat Remi menjauhinya.
Lalu entah bagaimana, seorang Ramadhana Afrizal tiba tiba menjadi dekat dengan gadis itu.
Aku nyaman dengannya. Kami punya topik pembicaraan yang asyik dan gadis itu suka Liverpool. Gadis itu manis dan mau membantuku. Dia sangat perhatian. Lama kelamaan aku sadar perhatiannya berubah menjadi perasaan yang berbeda.
Dan sejujurnya, aku juga punya perasaan yang sama. Hanya saja.....
Tiba-tiba Vika menepuk pundakku lalu tertawa kecil. "Ram, lagi ngapain?" Tanyanya.
"Skip kelas kimia, gue capek banget." Kataku sambil melepas earphone-ku. "Vika ngapain lagi gak masuk kelas?" Tanyaku heran. Yang ditanya malah cengengesan.
Gadis itu lalu duduk disampingku. Namanya Nauvika Rahmadania. Bukan, dia bukan gadis yang semenjak tadi aku bicarakan. Dia sahabatku dan kami berada di kelas penyesuaian yang sama.
"Biasalah gue ada kelas Ekonomi dan belum ngerjain tugas.. Hahaha."
Aku tertawa. "Biasa banget deh.."
"Eh iya, anak 10-2 jam ke 3 pada banyak yang kosong. Mau ngumpul nih. Ikut yuk!" Ajak Vika sambil memasukan iPhone-nya ke dalam tas. 10-2... Pasti ada gadis itu.
"Enggak ah, lagi pengen sendiri."
"Rama sendiri pasti gak sekedar bolos kan?"
Oh yeah, Vika selalu tahu apa yang aku fikirkan.
"Eum.. As you see.."
Vika terkekeh. "Pasti karena dia ya?"
"Iya, jadi jauh sekarang entah kenapa."
"Lo tahu kenapa dia jauh sekarang sama lo?"
Aku menatapnya heran. "Kenapa?"
"Karena elo terlalu lama, Rama."
Ups. Vika lalu tertawa kecil sementara otakku terus memikirkan tentang kata kata Vika. Mungkin benar aku terlalu lama bergerak. Mungkin yang ada di status BBM nya....
"Vik?" Panggilku pelan.
"Apa gue punya kesempatan?" Tanyaku sambil menatapnya dalam dalam. Vika tampak kaget dan membenarkan poninya yang berterbangan karena angin.
"Kenapa elo nanya kayak gitu? Lo mau maju sekarang?" Tanya Vika heran.
Aku menghela nafas panjang. "Apa itu salah? Lebih baik terlambatkan daripada tidak sama sekali?" Tanyaku kesal. Vika tersenyum. Ia lalu membuka Blackberry-nya. Aku mengacak acak rambutku, frustasi akan tingkah Vika yang seperti ini. Aku kira Vika akan mendukungku.
Vika menarik nafas panjang. "Gue seneng akhirnya lo mau bertindak. Cuman......" Vika menyodorkan Blackberry-nya lalu menghela nafas. "Gue gak yakin, Ram."
Aku meraih Blackberry itu dan tersenyum kecil ketika kudapati Vika juga memperhatikan status BBM Maudy. "R kan bisa aja gue, Vik." Kataku sambil berusaha tertawa.
Vika menoleh. "Gue udah bilang berkali kali, lo punya social media di pake, kek. Gak perlu selalu update, tapi perdulilah sama sekitar lo, Ram. Lo jadi gak update gitu kan."
Aku menghela nafas. Mungkin aku sudah kehilangan kesempatan ya?
***
Kali ini gadis itu mencoba mengorek masa laluku dan aku hanya bisa menghela nafas sambil pura pura tertawa. Masa laluku cukup pahit untuk seorang cowok. Aku terlalu percaya dan terlalu gampang jatuh hati sampai aku ditinggalkan. Mangkanya aku memutuskan untuk lebih hati hati lagi ketika memilih.
"Kalo elo make social media buat apa sih, Ram? Perasaan sepi banget timeline lo." Sahutnya sambil memainka iPhone-ku. Aku tertawa.
"Ya gue cuman make buat...." Belum sempat aku melanjutkan, gadis itu sudah mulai berbicara.
"Iya, lo cuman pake buat ngucapin happy birthday, atau nanyain orang dimana, jadi ketemuan apa enggak sama liat updatenya fanbase Liverpool kan?" Kata gadis itu dengan nada mendikte. Aku tertawa.
"Nah tuh lo tau!" Seruku. Dia menatapku kesal lalu tertawa dan berlalu. Aku kembali sibuk dengan PSP ku sampai dia kembali lagi.
"Lo tuh harus lebih perduli deh Ram sama lingkungan. Lo punya gadget bagus lho, canggih. Tapi kayaknya not-so-useful banget buat seorang Ramdhana Afrizal. Kan sayang jadinya." Cecarnya. Aku menggeleng.
"Males perduli sama lingkungan yang gitu gitu aja. Capek!" Elakku.
Dia mencibir. "Yee, Rama sih gak peka ya sama lingkungan. Pantes aja jomblo." Aku hanya bisa tertawa menanggapinya.
Aku sebenarnya menyukai kamu, lho. Seperti kamu menyukai aku. Tapi aku tidak bisa menentukan kemana kita akan berlabuh. Karena aku takut seperti masa lalu...
Vika, Andre dan Naufal menghampiri mejaku dan gadis itu. Topik kembali berputar di Ramadhana yang tidak peka terhadap lingkungan, cuek dan pantas saja tidak punya pacar.
"Terus aja terus!" Seruku kesal. Naufal tertawa puas.
"Ya emang lo gitu kan? Lo tuh ya ada yang sayang sama elo, nungguin elo.. Eh di diemin aja!" Seru Naufal sambil melirik gadis itu. Yang lain langsung bersorak sorak sementara gadis itu tersenyum malu. Dan aku? Aku tentu saja pura pura tidak mengerti.
"Ntar kalo doi udah diambil yang lain ribet lho!" Seru Vika.
"Iya, mumpung doi masih single. Iya gak?" Tanya Andre sambil menyikut halus gadis itu. Dia tertawa kecil.
"Iya, Ram. Udah lama banget nih.." Kata Vika.
"Iya lo kelamaan ah!"
Dan aku masih saja diam, hanya tersenyum kecil dan berkata "Lama apaan sih? Ini ngomongin apa deh gue gak ngerti..."
Aku masih pura pura gak peka padahal kepastian ada di depanku. Iya kamu.
Maudy Ayunda.
***
Satu yang terus berputar dalam pikiranku sekarang adalah, mungkin aku sudah terlambat.
Murid kelas penyesuaian 10-2 sudah berkumpul di Kantin sambil makan somai kesukaan kami dan Maudy duduk di depanku. Tapi dia tidak mau melihatku, apalagi tersenyum padaku. Padahal biasnaya pipinya selalu merona karena malu melihatku memakai jaket Liverpool peberian darinya.
Maudy sepertinya sudah moving on.
Tapi tidak. Tidak boleh. Mungkin status BBM nya hanya sebuah pancingan agar aku bisa maju. Iya kan, Dy? Katakan padaku kamu belum menyerah kan?
"Eh, Dy! Gue liat posting lo di instagram! Lo jadian yaaaa? Temen sepupu lo kan yang sekolah di Singapura itu?" Kata Marini, teman sekelasku yang selalu up-to-date tentang apa yang terjadi di social media. Semua murid kelas 10-2 langsung ribut sementara aku tak bicara apapun selain menghabiskan somaiku.
Maudy terkekeh. "Cukup cukup.. Lo semua kepo banget deh." Dia tersenyum. Sumpah manis sekali....
"Ya abis Maudy jadian gak cerita sama Vika!" Seru Vika manja. Maudy tertawa.
"Sorry.. Semuanya cepet banget."
"Emang gimana gitu?" Tanya Andre penasaran.
"Gue kenal sama dia dua tahun yang lalu. Terus dua bulan yang lalu dia liburan ke sini dan ketemu sepupu gue. Itu lho si Yuditha. Nah gue diajak main. Semenjak itu jadi deket. Tadinya sih sahabatan eh... Dia suka bola juga soalnya, jadi nyambung."
"Ah, tapi lo mulai suka sama Real Madrid nih! Padahal dulu kan lo cinta mati sama Liverpool, Dy." Kata Naufal dengan wajah setengah serius. Maudy menggigit bibirnya lalu menoleh. Dia sadar aku sejak tadi mencuri pandang padanya. Wajahnya kembali memerah.
Apa itu pertanda masih ada aku dihatinya?
***
Dua hari setelah masuk kelas penyesuaian, aku di tetapkan duduk dengan seorang gadis bernama Maudy Ayunda. Dia cantik dan baik. Wajahnya lucu. Dia ramah dan dia suka Liverpool.
"Buat gue nih ya Dy, milih cewek tuh kayak milih klub bola.." Kataku setelah Maudy bercerita bahwa ia menyukai Liverpool.
"Oh ya? Kenapa gitu?"
"Ya.. Karena gue milih sesuatu yang di dapetinnya susah, pasti mempertahankan dan melepaskannya juga susah. Gue gak milih Barcelona karena dia klub besar. Dia udah megang banyak prestasi. Sementara Liverpool tuh naiknya pelan pelan dan gue suka itu. Jadi gak terlalu kelihatan mencolok pas kalah dan gak kelihatan biasa aja pas menang. Jadi ada feelnya gitu, Dy." Cecarku dengan mata berbinar binar. Maudy tertawa.
"Hahahaha iya juga sih, Ram. Itu yang gue suka dari klub Liverpool. Mereka bagus dan gue suka aja entah kenapa. Pas nonton bola, kayaknya gue udah cinta mati banget deh sama Liverpool." Kata Maudy tak kalah berbinar binarnya.
"Eh, Dy lo tau gak?"
"Apaan, Ram?"
"Gue tuh suka aneh sama cewek yang sok ngerti bola padahal ujung ujungnya fans karbitan."
"Ih! Gue gak gitu tauuuu!" Seru Maudy.
"Hahaha maksud gue bukan elo. Ya banyaklah.. Beli jersey padahal mereka gak tau klubnya. Asal bagusnya aja."
"Ah, kalo itu sih gue juga, Ram! Tapi cinta gue cuman buat Liverpool."
"Wah asik dong! Untung banget deh gue sebangku sama elo 6 bulan ke depan!"
Maudy menatapku heran. "Hah? Kenapa, Ram?"
"Soalnya udah lama gue nyari cewek yang asik dan bisa gue ajakin ngomongin bola. Sebenernya sih banyak, tapi yang kayak elo tuh susah di temuin. Elo tuh beda. Lo tuh asik dan yang paling penting, kita punya tempat berlabuh yang sama. Liverpool."
Pipinya memerah lalu tertawa. "Hidup Liverpool deh!"
***
Tapi sekarang kamu pindah ke Real Madrid ya, Dy?
Topik pun berganti ganti sampai akhirnya Vika iseng menyerempet ke arah kehidupan asmara warga 10-2. Aku pura pura sibuk dengan iPhone-ku. Andre menegurku.
"Ram? Lo tumben sibuk sama HP?" Tanya Andre heran. Semua mata tertuju padaku tak terkecuali Maudy. Tanganku bergetar, aku jadi gugup.
"Eum.. Lagi baca timeline!" Seruku. Semua langsung tertawa.
"Ah, Rama? Sejak kapan Rama perduli sama social media?" Tanya Marini. Aku berdehem.
"Ya.. Hidup perlu berubah. Kan lo semua yang bilang gue harus lebih perduli sama berita sekitar gue. Gue harus lebih peka."
"Iya juga sih.. Ngomong-ngomong si Maudy udah jadian tuh, Ram! Ah telat lo!" Seru Naufal lempeng. Aku tersentak. Maudy langsung membuang muka. 10-2 kembali ribut.
"Iya nih, Rama telat banget! Hahahaha."
"Iya, padahal gue kira Rama bakal jadian sama Maudy lho!"
Semuanya kembali ricuh. Aku dan Maudy terus di pojokkan sementara Maudy hanya tersenyum dan tidak mau melihat ke arahku. Aku pura pura tidak mengerti. Iya. Itu jurusku. Lalu beberapa saat kemudian Remi yang ada kelas baru datang menghampiri kami. Ia duduk di samping Maudy yang kebetulan kosong karena Anindya sedang di panggil Bu Anis.
"Wes! Sorry gue telat bro!" Seru Remi.
"Ah gakpapa santai aja.." Kata beberapa anak 10-2 bersahutan.
"By the way lagi ngomongin apa nih?" Tanya Remi lagi. Belum sempat aku membuka mulut, Vika sudah nyerocos duluan.
"Ini lho lagi ngomongin Maudy yang taken dan Rama yang telat nembak hahahaha."
Remi melirikku heran. Ia lalu menepuk pundak Maudy. "Eh Dy gue cuman liat update status lo doang R. Gue kira lo jadian sama Rama...." Kata Remi sambil melirikku lagi.
Maudy tertawa lalu menyeka rambutnya. "Enggaklah. Hahahaha."
"Yaudah deh selamet! Ikut seneng gue! Tuh Ram elu sih pas Maudy ada lo sia siain, sekarang telat kan hahaha."
"Ih apaan sih gak ngerti deh gue." Aku masih tetap pura pura tidak mengerti padahal aku sakit sendiri. Maudy melirikku lalu kembali tenggelam dalam obrolan 10-2.
Bell tanda jam kelas ke 4 mulai pun berbunyi. Semua mulai berhambur meninggalkan kantin sementara aku yang tetap ingin bolos tidak bergerak kemana mana. Dan yang membuatku kaget...
Maudy juga tetap duduk di bangkunya.
***
"Lo sakit, Dy?" Tanyaku sesampainya di Kantin setelah bermain futsal bersama anak cowok 10-2. Maudy menoleh lalu mengangguk.
"Iya nih, Ram. Haid hari kedua. Sakit banget..."
Aku memutuskan untuk duduk di sampingnya. "Segitunya ya sampe gak bisa olah raga?" Tanyaku lembut. Maudy mengangguk.
"Iya.. Mangkanya cewek kalo lagi PMS ribut banget hahaha."
"Eits! Gue harus menyingkir dong dari elo biar gak kena imbasnya!"
"Enggaklah, Ram.. Gue jinak kok. Hahaha."
Lalu hening diantara kami. Beberapa saat kemudian aku berdehem.
"Ram.."
"Dy.."
Kami terdiam lalu saling buang pandangan. Kami memanggil satu sama lain bersamaan? Jantungku berdegup kencang. Demi Tuhan inilah yang membuatku tersiksa jika hanya berdua dengan Maudy.
Maudy juga tampaknya salah tingkah. Tapi aku memutuskan untuk pura pura tidak mengerti situasi tadi dan menoleh lagi. Menganggap semuanya biasa biasa saja.
"Apaan, Dy?" Tanyaku.
"Elo tadi mau ngomong apa? Duluan deh!" Kata Maudy.
"Eh.. Cewek duluan."
"Ah basi lo. Elo aja dulu..."
"Elah ribet banget. Elo dulu!"
Maudy tertawa. "Lo mau penjurusan kemana?"
"IPA." Aku tertawa kecil. "Elo sendiri?" Tanyaku. Maudy menunduk. Wajahnya kecewa.
"IPS. Pisah dong.."
"Ah, iya. Kita pisah ya."
"Berarti gak bisa ngomongin Liverpool lagi."
"Bisalah, masih ada BBM. Masa gue berhenti ngomongin klub kesayangan sama Liverpool Girl gue hahaha."
"Hahahaha berisik lo. Lo kayak perduli aja sama Blackberry & iPhone lo!"
"Ya kalo buat Maudy sih...."
Wajah Maudy kembali memerah dan akupun begitu. Ups. Maaf, Dy.
"Remi juga masuk IPA lho! Pisah deh hahaha." Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ugh.. Remi?" Tanya Maudy aneh.
"Eum, iya.. Remi. Lo suka kan sama dia?" Tanyaku keheranan. Maudy terdiam.
"Oh.. Remi. Iya. Dulu." Jawabnya sepatah patah.
"Eum.. Dy, thanks ya!" Kataku sambil menepuk bahunya.
"Buat apa?"
"Buat jadi temen sebangku gue dan jadi gadis liverpool terbaik yang pernah ada."
Maudy tersenyum kecil. "Sama-sama, jendral! Jangan sombong pas lo masuk IPA."
"Iya, gue gak bakal nindes anak IPS kok hahaha."
"Gila ya cepet banget semuanya. Udah mau penjurusan aja."
"Iya ya. Kayaknya baru kemarin gitu masuk SMA."
"Hahaha lo siap gak, Dy?" Tanyaku sambil tertawa.
"Eum.. Actually, enggak."
"Kenapa?"
"Gue gak mau berpisah sama seseorang. Ya walaupun dia gak liat gue lebih dari sekedar temen, gue tau dia tau kok perasaan gue. Gue pengen dia sadar tentang keberadaan gue. Sayangnya kita mau pisah, pasti bakal jauh banget. IPA dan IPS kan bakal jadi venus dan mars."
Aku menelan ludah. "Ah, lo kalo kangen sama gue bilang deh...."
"Ya kalo gue bilang, emangnya lo bakal ngerespon apa, Ram?"
Tatapan Maudy cukup dalam tapi aku tak bisa berkata apa apa. Aku hanya tersenyum lalu mengalihkan pandanganku dan beranjak meninggalkannya sendirian...
***
"Tiga bulan yang lalu, disini. Apa lo inget?" Tanya Maudy tiba tiba. Aku kaget ia tiba tiba bicara padaku. Aku langsung melepaskan iPhone-ku.
"Gue inget. Gue inget semuanya."
"Apa lo inget gue selalu ingetin lo buat lebih peka sama keadaan sekitar?"
Aku terdiam lalu mengangguk. "Iya, Dy. Gak mungkin gue lupa."
"Iya, lo gak lupa. Tapi lo gak pernah berubah, Ram."
Aku terdiam. Aku tak tahu harus bicara apa. Tapi sebagai laki laki, aku merasa gagal memperjuangkan cintaku. Aku melepaskan begitu saja gadis yang begitu aku sayangi. Maudy.. Maudy.. Andai ada cara membuatmu kembali.
"Namanya siapa?" Tanyaku sambil menatapnya. Dia memalingkan pandangannya dan menerawang jauh.
"Namanya Rafi. Aditya Rafi Aridhtama."
"Dia tinggal dimana?"
"Singapura. Dia kelas 2 SMA."
Aku mengepalkan tanganku. "Lo longdistance?"
"Terakhir kali gue cek sih gitu..."
"Kenapa gak sama yang deket aja?" Tanyaku kesal.
Dia menoleh lalu membalas tatapanku. "Karena yang dekat tak pernah menawarkan sebuah kepastian."
Seperti disayat, aku tidak mampu menatap Maudy. Aku tak mampu mengelak. Aku salah. Aku yang sudah membuang orang yang aku sayangi. Aku kehilangan kesempatan.
"La.. Lalu elo ninggalin Liverpool?"
"Enggak, gue cuman mencoba menyukai hal lain sekarang. Real Madrid gak buruk. Mereka sama bagusnya dengan Liverpool. Tapi mereka punya sesuatu yang pasti."
"Apa? Nama besar? Suatu saat Liverpool juga akan jauh melambung tinggi. Pasti."
"Tapi gue juga butuh suatu kepastian, Ram. Gue gak bisa terus berada di progress yang terlihat berjalan padahal tetap diam tidak naik ataupun turun."
"Lalu lo mau meninggalkan Liverpool setelah lo lama bersama dia?"
Maudy terkekeh. "Awalnya enggak, bahkan gue ragu. Karena gue liat mungkin Liverpool bisa jauh lebih bagus daripada Real Madrid. Tapi gue gak bisa nunggu terus. Capek juga. Gue harus nungguin hal yang semu padahal yang pasti udah berdiri di depan gue."
"Tapi lo bilang selamanya lo bakal cinta..."
"Stop. Ini bukan masalah Liverpool atau Real Madrid. Ini masalah gue yang gak bisa nungguin elo lagi, Ram!" Seru Maudy dengan mata berkaca kaca. Ya Tuhan.. Aku membuatnya menangis?
"Lo tuh tau gue sayang sama elo, tapi elo gak pernah liat gue lebih. Lo gak pernah mau bertindak. Lo selalu diam di tempat!"
"Lo tau kan, Dy.. Lo tau masa lalu gue. Lo tau gue susah buat percaya dan memulai lagi karena dulu gue tertalu gampang jatuh hati. Lo tau gue..."
"Cukup, Ram. Gue tau semuanya. Tapi gue gak bisa nungguin dan maklumin elo terus. Gue emang sayang sama elo. Tanpa alasan dan mungkin bakal abadi. Walau cinta gak butuh alasan, tapi terkadang cinta butuh kepastian Ram. Dan cinta gue butuh itu dari seseorang yang bisa gue kasih kepastian..."
"Maafin gue, Dy..."
"Rafi dateng nawarin kepastian itu. Gue tadinya gak mau, Ram. Gue mau jadi Liverpool Girl lo terus. Tapi gue mikir, gue gak boleh ngelewatin hal pasti demi nungguin elo. Sementara gue juga ada pikiran kalo gue milih Rafi, elo bakal dateng dan menghantui gue lagi. Padahal kalo gue tetep di elo, elo juga gak bakal ngasih gue apa apa.."
Aku tak bisa bicara apapun. Aku begitu menyesal. "Dy..."
"Mangkanya gue memutuskan untuk meninggalkan elo, Ram. Meninggalkan semua kesemuan elo dan berdiri di samping kepastian dari Rafi."
"Apa gak ada kesempatan kedua buat gue, Dy?" Tanyaku sambil meraih tangannya dan menggenggam nya erat. Maudy menangis. Emosinya seperti tertumpah semua.
Aku bodoh. Aku benar benar terlambat.
"Seandainya elo dengerin gue, seandainya lo lebih peka sama lingkungan dan berhenti pura pura gak peka...."
"Dy.. Please, one more chance. You're my Liverpool girl."
"Lo tau kan sekarang gimana rasanya kalo lo gak mau berjuang demi apa yang lo mau dan terus ngulur ngulur waktu? Nyesel! Dan gue gak mau gue ngerasain itu. Gue punya Rafi sekarang dan gue harap lo bakal nemuin pengganti gue."
"Maudy maafin gue. Gue sayang sama elo, sayang banget. Gue gak mau kehilangan elo. Gue tau gue telat but please come back Dy..."
"Come back untuk apa, Ram? Untuk memperjuangkan kesemuan elo sementara ada kepastian yang membutuhkan cinta gue?"
Aku terdiam lalu menggenggam tangan Maudy lebih erat. "Please. Tinggalin Real Madrid dan kembali lah ke Liverpool."
Maudy terus menangis lalu melepas tanganku. "Suatu saat lo bakal ngerti Ram gimana perasaan gue. Dulu pas Remi ninggalin gue, elo yang bikin gue bangkit. Eh malah elo yang ninggalin gue. Sakit, Ram...."
"Maafin gue..."
"Ntar juga lo pasti tau rasanya... Lo bakal tau kalau walaupun cinta harus diperjuangkan, kita juga harus liat kondisi dan keadaan. Untuk apa gue terus nungguin elo sementara ada Rafi buat gue? Gue jadi memutuskan untuk melepaskan elo dan mendoakan elo untuk dapetin yang lebih baik daripada gue karena mungkin bukan gue yang bisa bahagiain elo.."
"Tapi cuman elo yang buat gue bisa tersenyum, Dy! Cuman elo Liverpool girl gue!"
"Kalo lo sayang sama gue, lo pasti bakal lepasin gue dan mendoakan gue sama Rafi.. Di luar sana lo bakal nemuin gadis lain kok, Ram."
"Gue tau ini ulah gue sendiri. Gue jadi kehilangan elo. Tapi please.. Comeback! Elo satu satunya cewek yang bikin gue berubah. Gue jadi percaya kalo masih ada cewek bener yang suka bola dan tulus sama Liverpool!"
Maudy bangkit dari duduknya lalu berjalan meninggalkanku. Aku langsung meraih tas-ku dan mengejarnya. "Please, Maudy Ayunda.. I beg you." Maudy menarik nafas panjang lalu menghapus air matanya.
"Mangkanya, kalo lo suka ya lo bilang. Kalo lo gak suka ya jangan bikin orang punya harapan. Kalo lo belum siap ya lo omongin sama orangnya. Lebih perduli sama sekitar, Ram. Orang orang gak bakal tau isi hati lo kalo lo gak ngomong. Lo cuman butuh lebih percaya sama orang buat ngungkapinnya. Kegagalan dulu tuh buat pelajaran bukan bikin elo malah tertekan gini."
"Dy.. Please..."
"Coba lo ngomong Ram dulu. Kita gak bakal kayak gini."
"Please.. Maafin gue. Please leave him. Come back to me.."
"Hati itu butuh kepastian, Ram."
"I know. I'll give it for you. Just leave him. Leave Real Madrid! Please.. Lo adalah satu satunya liverpool girl gue. I dont wanna lost you."
Maudy berbalik lalu menepuk pundakku. "Lo gak usah khawatir. Even now I'm in love with Real Madrid, I will always support Liverpool. I will always love Liverpool. But I'm not your Liverpool girl anymore."
Maudy tersenyum kecil lalu meninggalkanku. Aku langsung tertunduk lemas. Aku yang mengundang Maudy sendiri masuk ke hidupku dan aku sendiri yang membiarkannya pergi. Berjuta kode, modus dan prove selalu dia berikan padaku, tapi aku sendiri yang membuat semua itu sia sia dan kini aku yang sengsara.
Aku kini mengerti, sebagai seorang laki laki jika kita tidak mau bersama wanita itu katakanlah. Jika kita mau, katakanlah. Jika kita tidak siap, katakanlah. Selalu berani untuk mengatakan walaupun akan sakit jika di dengar olehnya.
Aku juga harus lebih melihat sikon untuk melakukan sesuatu. Aku harus berhenti pura pura tidak peka dan aku juga harus berhenti meminta sesuatu untuk kembali ketika semuanya sudah terlambat. Karena jika semua terlambat, walaupun kita sudah berusaha untuk merebutnya lagi, kalimat 'lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali' benar benar tinggal omong kosong belaka. Kamu tidak akan mendapatkannya kecuali Tuhan mengizinkanmu.
Aku harus memikirkan orang lain. Aku tidak boleh memikirkan diri sendiri. Karena ada hati yang terluka ketika kita terus berpura pura tidak peka.
Aku harus memikirkan orang lain. Aku tidak boleh memikirkan diri sendiri. Karena ada hati yang terluka ketika kita terus berpura pura tidak peka.
Karena Liverpool girl-ku benar, setiap hati butuh kepastian.
Cirebon, May 13th 2013 from 6.45 pm until 8.15 pm
Untuk kamu, nih.
Rizki Rahmadania Putri
titiii komen dikit boleh yaaa. hati hati buat nulis dari sudut pandang cowok, jujur walaupun sikapnya cowok, tapi cara nulis titi masih kayak fikiran yang kecewekan :D
BalasHapusyaah tp kita masih sama2 belajar yah, overall jalan ceritanya bagus! hehehe
Sebenarnya. Itu curhatan Titi kak. Jadi Titi itu setengah setengah. Makasih komennya love you!:}
Hapus