Breakeven chapter 1
Rilis dipercepat sehari! HAPPY READING!
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
***
"A broken heart is the worst. It's like having broken ribs; nobody can see it, but it hurts everytime you breathe."
***
Purwokerto, 2016
"Huh! Kelar juga buset."
Abbyan melemparkan dirinya ke tempat tidur lalu memandang langit-langit kamar kostnya. Ia sudah membereskan komik One Piece-nya yang tergeletak di mana-mana dan ia telah merapikan lemari bajunya. Ia lalu mengingat ingat sudah berapa lama ia merapikan kamarnya yang kelewat lebih dari sekedar kapal pecah dalam rangka kedatangan Ibunya itu. Ia bukannya takut diomeli, tapi ini adalah kali pertama mereka bertemu setelah lebaran tahun kemarin.
Menjadi putra seorang diplomat dan lebih memilih tinggal di negara asal karena trauma dengan penolakan di kali pertamanya ia pindah bukanlah hal yang mudah. Tapi Abbyan sudah bisa tinggal dan merawat dirinya sendiri dari SMP, bahkan bisa dibilang terlalu terbiasa. Makanya ada sedikit perasaan risih ketika Ibunya menelpon mengabarkan bahwa adiknya memilih untuk kuliah di Indonesia.
Abbyan mempunyai seorang adik laki-laki bernama Dhafir. Usia mereka hanya terpaut sekitar 2 tahun namun Dhafir lebih suka ikut Ayah dan Ibunya keliling dunia. Abbyan menghabiskan masa remajanya di Jakarta. Ia tinggal sendirian dengan beberapa pembantu dan saudara yang sesekali mampir. Ia bertemu dengan keluarga intinya sekitar satu sampai dua kali dalam setahun.
Abbyan sudah terbiasa mandiri mulai dari mengurus masalah kebutuhan pribadi, sekolah, les bahkan mengatur pengeluarannya. Abbyan bisa dibilang punya prinsip tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya, tapi ia juga cukup nakal saat SMA. Meski begitu takaran nakal bagi seorang Abbyan Mauza Xavier tidak pernah jauh jauh dari sekedar cabut jam pelajaran terakhir atau menjahili teman temannya. Karena pribadi Abbyan yang mandiri itulah membuat Ibu dan Ayahnya memenuhi permintaan Abbyan untuk kembali ke Indonesia saat ia kelas 6 SD.
Tidak biasanya ia meminta Ibunya untuk mampir menengok, tapi kali ini ia merasa butuh sekali bertemu dengan Ibunya. Sekarang Abbyan sudah ada di semester 4 menjelang 5, titik yang cukup berat ketika kamu sedang mengambil sebuah bidang studi yang sebenarnya tidak benar-benar kamu minati. Tujuan hidup Abbyan bukan sebagai Dokter, tapi sesuatu telah membawanya kemari.
Kadang ia merasa kesal bercampur menyesal, apalagi di dua semester awalnya Abbyan hancur bukan main. Di semester 3 ia mulai memperbaiki nilai dan ikut BEM supaya lebih termotivasi belajar. Untungnya dengan kesibukan di BEM dan bertemu dengan bayak orang, Abbyan jadi bisa bersemangat untuk meneruskan kuliahnya.
Namun entah mengapa sekarang hatinya merasa sangat berat. Ia merasa sangat rapuh dan lemah. Ia yakin di dalam dirinya masih ada sesuatu yang rusak sehingga sakitnya tidak pernah berhenti bahkan setelah ia mencoba untuk menghindar.
Ia gelisah. Ia rindu pada sesuatu yang tidak nyata.
***
Jakarta, 2016
"WOY ADA DEMO DI BUNDARAN HI! ANAK FISIP MAU PADA TURUN! KATANYA BARENG SAMA BEBERAPA UNIV LAIN. TERAS BEM BANTU CEGAH YA, KALI INI MUNGKIN AKAN SANGAT ANARKIS!!"
Ruang BEM Universitas Indonesia tiba-tiba digegerkan akan berita demo di Bundaran Hotel Indonesia. Beberapa pejabat teras sudah langsung meluncur ke TKP untuk menggagalkan demo kolaborasi ini karena ada isu bahwa demo ini hanya dipergunakan untuk menjebak para mahasiswa nekat yang sering berbuat onar. Seorang cewek berjalan mengitari ruang BEM dengan panik sambil mencari sesuatu.
"Jakun woy jakun gue kemana?!" Tanyanya dengan suara lantang. Semua orang tampak tidak menggubrisnya. Ia lalu melihat beberapa adik tingkatnya -yang memang tidak punya wewenang dalam masalah seperti ini- sedang membereskan laporan laporan. Cewek itu menghampiri mereka lalu menutup laptop di tengah tengah mereka begitu saja.
"Jakun woy jakun!" Pintanya panik.
Seorang cewek berambut pendek mengerutkan dahinya. "Hih, Mba santai Mba.. Gue lagi ngerjain tugas dari elu nih."
"Jakun, Sabira! Minjem jakun lu deh!" Serunya. Sabira pun melepaskan jakunnya lalu memberikannya pada kakak tingkatnya itu, "lu takut cowok lu yang di Univ sono ikutan demo lagi kan?! Ah cinta basi!"
"Rese lu, Bi! Gue cabut, jagain markas, ye!"
Cewek berambut pendek itu hanya tertawa lalu kembali membuka laptopnya saat satu persatu teman temannya beranjak dari tempat duduk mereka. "Bi, itu Bi.. Cabut dulu ya."
"Lho? Lulu, Keysha.. Lo mau pada kemana ini belum kelar-"
Seorang cowok tiba-tiba berdiri di hadapannya lalu tersenyum dengan senyuman yang tidak pernah ingin ia lihat lagi. Ia lalu bergumam, "Sabira.."
Sabira tidak langsung bereaksi, ia terlebih dahulu memperhatikan cowok itu dengan saksama. Siapapun yang melihat cowok ini pasti akan langsung menyukainya, ganteng, rapi dan terlihat sangat humble. Apalagi dia dari Fakultas Ekonomi yang sudah dalam tahap magang di perusahaan besar. Dia juga punya suara yang berat namun memikat. Pokoknya cowok ini akan sangat lovable bagi siapa saja yang melihatnya kecuali Sabira. Tapi entah kenapa Sabira malah malas sekali meladeni cowok ini.
"Mau ngapain lagi sih, Rey?" Gadis itu bangkit dari duduknya lalu menarik napas panjang.
"Bi.. Aku mau ngomong.." Ujar cowok itu gugup.
"Ya kalo mau ngomong tinggal ngomong aja apa susahnya sih?"
"Aku gak mau kita perang terus."
Sabira mendengus pelan, "emang kita udah gak perang lagi, Rey.."
"Engga, Bi.. Dengerin aku dulu.. Aku mau kita balikan..."
Sabira sontak menutup laptopnya. Ia lalu bergumam kecil, "kamu mau kita balikan... Setelah kamu selingkuh?"
"Aku.. Aku gak selingkuh. Aku bisa jelasin.. Aku cuman temenan sama di-"
Cewek itu meraih tote bagnya dan mengambil laptopnya dari meja. "Oh come on, jangan becanda.."
Sabira lalu berjalan menuju pintu keluar sementara Rey terus mengikutinya sambil memohon. Sabira tidak suka laki-laki yang memohon. Sabira tidak suka diperlakukan layaknya puteri suci yang patut diperjuangkan dan dipertahankan.
"Aku mau kita balikan.. Aku mau kita lebih dari 3 bulan.."
Sabira membuka pintu lalu tersenyum kecil, "you wish."
Karena dia bukan.
***
Ibu hanya mampir sebentar dan Abbyan hanya memeluknya untuk beberapa detik saja. Kali ini dengan hebatnya Ibu pergi dari California ke Jakarta lalu ke Purwokerto untuk meneruskan meeting di Yogyakarta selama dua hari. Setelah itu beliau pergi entah kemana lagi. Abbyan sudah biasa dan ia bersyukur untuk 3 jam yang Ibunya berikan.
Abbyan tidak bicara tentang kegelisahan dan kerapuhannya, kebanyakan ia mendengar Ibu bercerita seberapa bangga Ayah dan Ibu melihat kedua anak mereka menjadi dokter. Dhafir Mirza Xavier mungkin memang ingin menjadi dokter tapi tidak dengan Abangnya. Ia selalu lebih menyukai Teknik Kimia dan karena itulah ia menjawab soal SBMPTN-nya dengan asal asalan supaya diterima di Teknik Kimia Universitas Jendral Soedirman.
Bahkan untuk pilihan SBMPTN pun bukan Abbyan yang memilih, tapi Ayah dan Ibu yang memilih; Kedokteran UI, Kedokteran Unsoed, Teknik Kimia Unsoed. Dan disinilah ia berada, Purwokerto untuk beberapa tahun ke depan.
Dari mata Ibu, Abbyan bisa merasa bahwa Ibu sangat bangga dengan sekolah Dhafir yang baru. Dhafir diterima di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran lewat SBMPTN, hasil yang memuaskan mengingat Dhafir sebenarnya bisa kuliah di universitas luar negeri jika ia mau. Dhafir akan tinggal di daerah Depok sehingga mereka akan bertemu ketika libur saja. Abbyan akan pulang ke Jakarta liburan kali ini untuk bertemu adiknya. Biasanya ia tidak di Jakarta, ia pergi ke Singapura atau Hongkong untuk sekedar jalan jalan.
Pintu kamar Abbyan dibuka dengan kasar oleh seseorang. Abbyan meringis, "haduh bisa kali Mas agak santai gitu lho..."
"Santai santai pala lu! Lu ngapain sih main main ke FH lagi? Ini belum ospek lho, baru daftar ulang SBMPTN.. Ada apa sih elu dengan anak FH? Lu kan punya fakultas sendiri, By.." Cecar seorang cowok tinggi dengan baju basket yang ia kenakan.
Abbyan tertawa terbahak bahak, "elu tau dari mana?"
"Ya gue tau kali By, ada laporan. Lu urusin FK aja kali jangan ke lahan gue.."
"Eh gue staf humas BEM lho, Al. Jangan salah! Gue punya hak dan kewajiban untuk keliling... Liat calon cantik UNSOED... Kali ada yang kepincut kaya tahun lalu hahaha."
"Sinting kan lu! Itu jelas jelas Yara ngejer ngejer elu, elu malah diem aja. Cakep gitu, anak FH lagi." Sahut Ali sambil menyalakan TV di kamar Abbyan.
"Gue cuman ngetes apa di FH gue ada peluang enggak, eh dia nyantol.. Ogah ah, dia di cat rambutnya." Ujar Abbyan sambil cekikikan. Ali melemparnya dengan remote TV.
"Ya kalo gak minat jangan bikin dia kegeeran dengan bolak balik ke FH, bego! Eh denger denger Dhafir masuk UI? Jago juga adek lu." Abbyan hanya mengangguk lalu mereka malah sibuk dengan gadget dan tontonan di TV.
Ali selalu senang menggoda Abbyan tentang cewek karena ia tahu sahabatnya itu sulit untuk membuka hati. Bisa dekat dengan Abbyan bukan berarti punya kesempatan untuk ada di hatinya. Abbyan terlalu sakit untuk memulai. 2 tahun yang lalu saat mereka pertama kali bertemu karena kamar kost yang bersebelahan adalah saat di mana Abbyan baru saja kehilangan pacarnya. Ia diputuskan tanpa alasan setelah hampir 5 tahun berpacaran.
"Kenapa sih gak mau coba sama Yara?" Tanya Ali tiba tiba.
"Kenapa ya.. Ya gak sreg aja gitu."
"Gak cakep?" Ali menatap Abbyan dengan menyelidik. Sementara itu Abbyan menoyor kepala Ali lalu terkekeh, "gue masih cowok tulen kok, masa cewek secakep itu gue gak bilang dia cakep."
"Ya terus kenapa dong Aby? Kalo si Yara mau sama gue sih udah gue embat deh!"
"Hm.. Namanya hati kalo udah dipatahin, susah buat disembuhin. Apalagi gak ada alasannya, padahal alasan itu kan yang bikin kita bisa berpikir dan berakhir merelakannya?"
Skakmat. Ali pun terdiam.
***
Sabira berhati dingin.
Sabira si cantik UI yang banyak mantan.
Sabira sering selingkuh.
Sabira gak bisa pacaran lebih dari 3 bulan.
Sabira playgirl.
Sabira sok laku.
Sabira ........
"Sampah!" Sabira membanting handphone-nya setiap kali ia mengingat kata-kata yang diucapkan banyak orang padanya setiap kali kabar kandasnya hubungan ia dengan seseorang terkuak. Entah kenapa bahkan di universitas pun gosip murahan semacam ini masih jadi konsumsi publik seakan akan mereka masih saja duduk di bangku SMA.
Sabira memang tidak bisa pacaran karena ia punya alasan.
Matanya menoleh ke mejanya lalu menatap sebuah foto. Ia tiba-tiba menangis. Entah sampai kapan ia harus tersiksa seperti ini. Setiap kali melihat wajah yang berada di foto itu, hati Sabira seakan remuk. Ia hanya bisa menangis, namun ia tidak pernah memindahkan foto itu. Walau untuk sekedar menyebut namanya saja ia tidak mampu...
What do you think?
To be continued...
Ditunggu chapter ke duanya kak.
BalasHapusSiap kak
Hapus