Day and Night: Aksi Setelah Dua Puluh Satu Hari
This is my life
Always dreaming for a dream to come true
This meaningless life
Wanting something I can't see
And something I can't reach
Or something that could not exist
- Zombie (Eng ver) by Day6
***
Majid meregangkan seluruh tubuhnya sambil mengerang kelelahan. Mungkin kegiatan hari ini menjadi salah satu yang paling sibuk dari aksi anti sosialnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna gading. Ia menggeleng sendiri mendengar suara di kepalanya menyebutkan kata itu. Gading bukan warna sebenarnya. Seharusnya langit-langitnya berwarna putih. Namun kenapa jadi gading? Mungkin pertanyaan tadi lebih tepat jika berbunyi seperti ini; sejak kapan warnanya berubah menjadi gading?
Majid mencoba menelusuri ingatannya. Namun semakin ia mencari-cari jawaban, semakin sakit hatinya. Karena di setiap sudut ruangan 4 x 4 meter ini hanya tergambarkan wajah perempuan itu. Ah, bukan hanya wajahnya. Majid ingat bagaimana Alena membelai rambutnya setiap malam kemudian mengecup keningnya hingga lelaki itu terlelap ke alam mimpi. Ia tentu tidak bisa melupakan bagaimana tawa Alena selalu memenuhi kamar ini setiap mereka menonton serial The Big Bang Theory favoritnya.
Setelah sadar usahanya hanya membawa rasa tidak nyaman dalam perutnya, maka Majid pun membenarkan posisi duduknya. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam sebanyak tiga kali, persis seperti apa yang dikatakan oleh psikolognya. Oh, jelas. Majid Al Marhan butuh seorang psikolog untuk membantunya bangkit dari patah hati terkonyolnya di 2020 kali ini.
Karena hal konyol ini disebabkan oleh dirinya ditinggal menikah oleh orang yang paling ia sayangi; Alena.
Senyum kecut kembali terukir di wajah dingin Majid. Apa kabarnya Alena di hari ke 21 ia genap menjadi istri orang lain? Apakah dia bahagia setelah melepaskan Majid karena status pengangguran Majid? Siapa yang mau jadi pengangguran di usia 25 tahun? Oke, 26 tahun kalau menghitung bulan September akan datang dalam beberapa hari.
Bukan keinginan Majid menghadapi perusahaannya yang tiba-tiba collaps seperti kemarin. Namun bisa-bisanya Alena, gadis yang paling dicintai Majid di seluruh jagad raya ini berkata, "aku nggak bisa nunggu kamu yang nggak jelas. Mau makan pakai apa kalau kamu nggak kerja? Cinta?"
Cinta katanya. Majid tertawa geli mengingat kata cinta keluar dari bibir Alena malam itu saat memberi tahu bahwa ia menerima lamaran sahabat kecilnya. Apa benar ada cinta di antara mereka jika akhirnya Alena memilih untuk bersama orang lain?
Bullsh*t.
Pikiran Majid yang mulai kacau membuat jemarinya kembali bergetar. Hal ini sudah terjadi selama dua bulan terakhir. Majid benci keadaan seperti ini. Bukannya cinta ada di dunia untuk memberikan kebahagiaan dan penguatan bagi mereka yang merasakannya? Kenapa cinta malah menghancurkannya?
"Abang mau sate padang, nggak?"
Suara parau itu membuat Majid terkesiap. Ia pun menoleh ke arah pintu dan menemukan adiknya sedang berdiri di sampingnya sambil memegang sebuah kertas. Wajahnya masih sekusut tadi pagi, berarti ia tidak mandi seharian ini. Majid melirik bajunya sekilas dari layar laptop lalu nyengir -dia juga belum mandi.
Dari dua hari yang lalu. Atau tiga?
"Elu beli?" tanya Majid membuka suara dengan pelan.
Juna, adiknya mengangguk sambil menatap kertas yang sedari tadi ia bawa, "Iya, masa gue masak sendiri? Emangnya gue Uda Rumah Makan Padang apa?"
"Pfft ... Try again, Jun. Try harder," sahut Majid sambil tersenyum separuh.
"Lah, Abang udah senyum tuh. Dikit. Juna liat kok!" seru Juna tidak mau kalah.
Majid menggeleng, "berisik lo. Masih ngapalin naskah?"
"Iya. Gue jadi tsundere sekarang."
"Mana bisa? Salah ambil peran lo, Jun!"
Juna mencibir Majid, "Heran dah nggak seneng aja lo lihat gue happy. Doain besok reading-nya lancar. First reading nih."
"Oh gitu? Di mana?" tanya Majid sambil mengetikkan beberapa hal di laptopnya. Pesan dari Ibu yang berada di Bandung terus muncul setiap setengah jam. Kadang Ibu menanyakan kabar Juna, anak bungsunya. Di lain waktu Ibu tiba-tiba muncul sambil minta foto Donggie, anjing kecil Majid. Tetapi laki-laki itu tahu semua yang dilakukan Ibunya hanya sebuah usaha basa-basi untuk memastikan bahwa putra sulungnya masih hidup; Majid masih punya harapan untuk lebih baik di esok hari.
"EN Management. Deket kok di Jakpus. Lo anter gue ya."
"Hah?" Majid mengernyitkan dahinya sembari membalas pesan Ibu. Kali ini Ibu bertanya apakah Majid sudah memandikan Donggie dan berakhir dengan sebuah kebohongan. Sudah. Majid bilang sudah katanya. Padahal pemiliknya saja belum bangkit dari kamar sejak dua hari yang lalu. Atau tiga. Entahlah.
Juna mengangguk-angguk, "Iya. Elo harus berhenti cari-cari freelance kayak gitu dan start the real job, Bang. EN Management tuh kayaknya cocok deh buat lo. Jadi besok lo bangun pagi, habis subuh langsung olahraga terus mandi ye. Jam 8 kita berangkat. Pokoknya Abang harus berhenti jadi zombie kayak gini. Get a life, Bang! Biar Mbak Alena sadar kalo-"
"Buat apa?"
"Eh?"
Suara Majid yang terdengar dingin membuat Juna bergidik ngeri. Ia tahu Alena merupakan topik paling sensitif untuk seorang Majid Al Mahran, tapi mau sampai kapan Abangnya berdiam diri seperti ini? Whatever happens, life must go on.
"Buat apa gue cari validasi dari Alena? Udah jadi bini orang, Cuk."
"Bener juga..." Juna mengangguk-angguk kecil, "tapi mau sampai kapan Abang kayak gini?"
Majid menaikkan kedua bahunya, "nggak tahu. Hidup gue kayak udah nggak ada harapan. Lo tahu sendiri udah 3 minggu gue nggak keluar rumah. Gue pengen siang cepat selesai dan malam cepat datang. Gue nggak suka lihat banyak orang. Impian gue ... Pergi bersama Alena."
"Bang, jangan gila," sahut Juna terdengar serius, "lo boleh cinta sama Alena, tapi hidup lo lebih berharga daripada dia."
"Gue capek, Jun. Gue sama Alena pacaran dari kami kuliah. Lo pasti kebayanglah berapa banyak mimpi dan masa depan sama dia yang udah gue susun. Semua yang gue lakuin dari dulu itu buat bikin Alena bahagia di masa depan. Tapi apa? Dia nggak sabar. Dia nyerah dan milih pergi sama orang lain. Kalo udah gini, gue harus gimana? Mimpi gue pergi -udah jelas hidup gue nggak ada artinya lagi."
Juna menjitak kepala Abangnya, "Masya Allah, istigfar lo, Bang! Ini nih yang Ibu bilang kalo cinta ya cinta aja, nggak usah pake banget. Segala yang berlebihan nggak baik, Bang. Makanya Allah pisahin elo sama Alena, bukan karena Allah nggak sayang sama elo. Tapi karena Allah mau ngajarin lo kalo hidup itu kadang begini, Bang. Kadang lo ngerasa bahagia, kadang lo dijatuhkan sejatuh-jatuhnya. Biar apa? Biar lo bangkit dan nggak bosan untuk berusaha."
Majid terdiam beberapa saat. Ia kemudian mentap Juna yang terlihat berapi-api. Setelah 21 hari ia lewati, baru kali ini Juna membentaknya seperti ini. Apa mungkin ... Majid sebenarnya masih punya harapan lain?
"Bang Majid, kadang elo bisa cinta sama sesuatu yang nggak baik buat lo. Tapi lo benci sesuatu yang sebenernya baik buat lo. Elo nggak tahu apa-apa, karena Allah yang Maha Tahu dan udah merencanakan segalanya dengan sempurna. Udah ya, Bang. Berhenti galauin Mbak Alena. Waktunya lo bangkit!"
Juna meraih tangan Majid kemudian mengarahkannya ke posisi orang sedang berdoa. Majid kemudian mengerang, "eh? Apaan nih?"
"Udah nurut aja!"
Majid berdecak kesal, "Ck iya iya."
"Nah sekarang ikutin gue ya."
"Hm."
"Ya Allah..."
Majid mengigit bibirnya kemudian berucap, "Ya Allah..."
"Nah, lanjutin sendiri deh doa lo. Harus dari hati terdalam biar berkah. Elo nggak mau ngabisin the rest of your life galau karena Alena nikah sama orang lain kan? Dah, gue pesen sate padang dulu ya. Awas lo kalo nggak doa!" seru Juna sembari keluar dari kamar Abangnya.
Majid tertawa geli kemudian terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya, hati Majid seperti terketuk setelah mendengar pidato singkat Juna barusan. Padahal sejak Juna tahu bahwa Alena akan menikah dengan orang lain, laki-laki itu tidak mengucapkan apa-apa selain bersedia menjadi sasaran amarah Majid setiap saat. Namun malam ini ... Juna seakan ingin membuat Majid tersadar bahwa sudah saatnya laki-laki itu bangkit.
Majid pun tersenyum kecil sambil menoleh ke arah fotonya dengan Alena yang masih ada di meja kerjanya. Ia kemudian berujar, "Ya Allah, mudahkanlah hamba-Mu ini untuk mengikhlaskan apa yang bukan milik hamba. Maaf terlalu lama jatuh. Mohon tunjukkanlah cara agar hamba bisa bangkit. Hamba ingin hidup normal lagi."
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah 21 hari Majid mengurung diri sejak cintanya menjadi istri orang lain, ia bertekad untuk bangkit dan menata hidupnya kembali.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}