Day and Night: Tidak Lagi Ada Kita
I already know that your answer is "no"
I pretend not to even though I already knew it
I cannot give you up just yet
Not until I hear you say it
Can't give up on you
- Love Me or Leave Me by Day6
***
Disclaimer : This content is suitable for readers above 18 years old
***
Angkasa membuka kelopak matanya dengan perlahan. Jemarinya yang tidak lagi merasakan kehangatan membuat tidurnya tidak lagi nyenyak. Sejujurnya ia takut melihat kenyataan. Namun sebagian dirinya juga penasaran, ke mana tubuh yang sebelumnya ia peluk hingga terlelap?
Kini Angkasa berani membenarkan kata orang tuanya. Intuisi memang diciptakan Tuhan supaya manusia bisa punya sedikit waktu untuk setidaknya bersiap-siap sebelum datangnya kiamat kecil dalam kehidupan. Tetapi siapa sih yang siap dengan perpisahan? Mungkin orang lain bisa, namun tidak begitu untuk seorang Angkasa.
Lidah laki-laki itu langsung kelu ketika menyadari punggung polos perempuan yang sebelumnya ia peluk sudah menjauh dari tubuhnya sekitar 5 cm. Jarak yang tidak begitu jauh jika diukur dari penggaris, namun tidak bila bicara tentang hati. Ini bukan malam pertama Angkasa memaksakan langsung tidur setelah bermain bersama Rachel di ranjangnya. Alasannya sederhana; Angkasa benci keadaan canggung setelah mereka selesai berolahraga.
Canggung ini bukanlah sesuatu yang bisa dimaklumi. Apalagi setelah hubungan dua orang manusia yang berlangsung lebih dari dua tahun. Banyak malam di kehidupan Angkasa yang membuatnya merasa kesepian, namun tidak pernah sebanding dengan tidur berdua bersama pasangan dalam keadaan seperti sendirian.
Angkasa menggaruk kepalanya kebingungan. Apa yang salah dari dirinya? Semua cara sudah ia coba lakukan untuk mengembalikan percikan api cinta di antara mereka. Angkasa kira Rachel hanya bosan dengan rutinitas yang sama dengannya. Maka dari itu ia mencoba banyak posisi baru dengan berbagai obrolan yang harusnya lebih seru. Namun semuanya seakan tidak bisa mengubah apa yang terjadi di antara dirinya dan Rachel. Meski mereka berdua saling mengerang ketika bermain di ranjang, tetapi Angkasa berani bersumpah, semua itu hanyalah spontanitas pemenuhan birahi saja. Tidak lagi ada rasa di antara mereka.
Apa Keenan salah? Apa memang Angkasa harus melepaskan Rachel saja?
Laki-laki itu mencoba mendekatkan diri lagi kepada Rachel. Seperti malam-malam sebelumnya, ia menyentuh beberapa bagian favorit Rachel demi membuat gadis itu terkekeh geli. Meski sedang kesal, Rachel tidak akan bisa menolak jika diperlakukan dengan manis oleh Angkasa. Perempuan itu akan menerimanya bahkan membalas permainan pacarnya.
Satu ... Dua ... Tiga ...
Angkasa menghitung dalam hatinya. Kapan Rachel akan bereaksi?
Namun alih-alih berterima kasih atas sentuhan lembut Angkasa yang seharusnya memikat hatinya, Rachel malah menepis tangan Angkasa. Ia kemudian menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Angkasa berteriak dalam hatinya. Ia benar-benar frustasi.
"Cel, we need to talk."
Sebuah kalimat dengan nada dingin yang berhasil membuat Rachel tidak lagi terpejam. Perempuan itu menyeka air matanya yang mulai berjatuhan ke pipi. Bila saja Angkasa bisa berada di posisinya saat ini, laki-laki itu pasti tahu rasa sakit yang Rachel hadapi saat ini.
Dengan berat hati, Angkasa berujar, "kamu hamil? Sama laki-laki lain?"
Jantung Rachel berdegup tidak karuan. Gadis itu meremas selimutnya.
"Acel jawab aku."
Tangan Angkasa kini bergerak mengarahkan tubuh Rachel untuk menghadapnya. Meski sempat menolak, akhirnya keduanya saling bertatapan dalam diam. Rachel kini menangis terang-terangan, sementara Angkasa terlihat kesal.
"Jawab, Cel. Kamu hamil sama siapa? Anak siapa?"
Rachel menggeleng, "aku nggak pernah tidur sama orang lain. Kamu yang pertama dan satu-satunya."
Ketika Rachel mengucapkannya, tubuh Angkasa langsung lemas. Ia tahu Rachel tidak akan berbohong tentang hal ini. Ia bersyukur bukan masalah ini membuat hubungan mereka begitu hambar. Namun ... Kalau bukan itu ... Apa yang terjadi?
"Aku udah nggak puasin kamu ya? Aku salah di mana? Aku masih bikin kamu sakit? Masih bikin lecet-"
Dalam isaknya, Rachel berkata, "nggak lecet. Nggak sakit."
"Terus aku salah di mana? Bosen kita gitu-gitu aja?"
"Nggak, Sa. Nggak. Bukan masalah seks."
Angkasa menatap Rachel dengan frustasi, "terus apa? Kenapa kita gini? Kenapa kita nggak ketawain penyiar receh itu lagi? Kenapa kita nggak bisa makan dari piring satu sama lain? Kenapa kita nggak pernah ngobrol setelah menghabiskan malam? Kita kenapa, Cel? Aku nggak ngerti."
"Nggak tahu, Sa. Demi Tuhan aku juga nggak tahu."
"Jangan nangis, Cel. Nggak nyelesein masalah! Aku beneran bingung harus gimana. Aku udah berusaha cari restoran baru supaya kamu nggak bosen, belajar foreplay baru bahkan ajak kamu ngelakuinnya di dapur! Damn, disgusting, but still, I want to make us work again. Where's the sparks, Cel? Kita kenapa sebenarnya?"
Tangis Rachel semakin menjadi-jadi. Dengan terbata-bata ia berujar, "mungkin karena kamu berusaha dan aku nggak, Sa. Mungkin karena nggak ada lagi kita di antara kita."
Setetes air mata akhirnya jatuh di pipi Angkasa. Laki-laki yang sudah bersumpah pada Keenan saat saudaranya itu menangisi kepergian Laras, bahwa ia tidak akan pernah menangis karena cinta. Namun lagi-lagi manusia hanya bisa berencana.
"Kita mau nikah, Cel. Tahun depan."
"Nggak tahu, Sa. Aku usah berusaha kayak aku yang biasa ke kamu. Kamu juga ngerasa, kan? Tapi ... Bahkan kamu sentuh aku pun nggak ada rasanya."
Karena emosi yang meletup-letup di dalam diri Angkasa, maka kedua telapak tangan laki-laki itu menghampiri dada Rachel dengan kasar. Perempuan itu mengerang kesakitan, air matanya semakin deras turun ke pipi.
"Cel, ini masih nggak ada rasanya? Aku harus kasar dulu biar kamu ngerasa-"
"Bukan itu, Sa! Bukan!" seru Rachel sambil mendorong tangan Angkasa menjauh, "ini sakit juga buat aku, Sa."
"Bohong," tukas Angkasa sambil mengalihkan padangannya, "kamu bohong."
"Sa ... Lihat aku," sahut Rachel pelan, "kamu tahu kenapa, Sa. Aku nggak bisa ngomongnya."
"Ngomong, Cel! Ngomong! Ngomong aja! Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Aku butuh kepastian."
Rachel yang mendengar Angkasa membentaknya pun langsung ciut seketika. Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya sambil berusaha mengumpulkan segala keberaniannya. Hubungan ini benar-benar sudah mengacaukan mereka berdua.
"Aku udah nggak cinta lagi sama kamu, Sa."
Di detik itu juga setelah mendengar kalimat Rachel, Angkasa ingin mati saja.
***
"Lo tunggu gue ya, Sa. Gue mau tapping dulu."
Angkasa langsung menatap Keenan dengan murka. Bisa-bisanya ia membawa Angkasa ke EN Management untuk sebuah job interview namun malah meninggalkannya sebelum Gana dan Rafael, dua orang yang janjian dengannya muncul. Keenan benar-benar tidak peka dengan perasaan Abangnya itu.
"Sa, Sa, Sa! Anj*ng lo! Berasa sepantar!" seru Angkasa kesal. Akhir-akhir ini hanya ada dua jenis kata di kamus Angkasa; ratapan dan makian. Namun untuk Keenan selalu makian yang keluar dari mulut laki-laki itu.
Saking seringnya mendapat makian, Keenan hanya bisa nyengir, "tunggu, Bangs*t! Demanding banget jadi laki-laki. Pantes dia nggak cinta lagi."
"KEENAN!" bentak Angkasa yang disertai oleh sepupunya itu kabur meninggalkannya.
Angkasa mengeluarkan handphone-nya dari saku. Untuk membunuh sepi, kini ia lebih banyak membaca berita atau cerita-cerita fiksi di aplikasi baca online. Angkasa pernah berniat membuat cerita tentang hubungan. 3 tahun lebih beberapa ratus hari disertai malam-malam super panas yang tidak bisa dilupakan bisa kandas ketika satu rasa menghilang. Rasa paling dangdut di muka bumi ini yang bertugas untuk menyatukan dan juga memisahkan dua insan; cinta. Tetapi niatnya ditolak habis-habisan oleh Keenan. Berkaca kepada kisah cintanya dengan Laras, ia tidak mau sepupunya juga terjebak tidak bisa move on.
Sebenarnya kalau harus kembali ke sebulan yang lalu, Angkasa sudah tahu apa yang akan diucapkan Rachel malam itu. Namun ia selalu pura-pura tidak tahu sambil berharap hal itu bisa mengubah keputusan Rachel. Sayangnya, perasaan memang sesuatu yang hanya bisa dibolak-balikkan oleh Yang Maha Esa. Detik ini bisa sangat cinta, tetapi lima detik kemudian bisa hilang rasanya.
"Abangnya Keenan bukan, sih?"
Suara berat nan parau itu membua Angkasa mengalihkan pandangannya dari handphone. Dua orang laki-laki berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang benar-benar berbeda. Laki-laki yang barusan bicara dengannya terlihat sangat ramah. Sementara laki-laki berkaca mata di sampingnya menatap Angkasa dengan tatapan tidak menyenangkan.
"Kok tahu? Lo siapa?" tanya Angkasa lempeng.
Tawa sinis terdengar dari laki-laki berkaca mata, "apa gue bilang? Lo nggak laku di pasaran."
"Apaan sih! Dia belum nonton film gue aja kali -eh, Abang Asa, kan? Gue Juna. Ini Abang gue, podcaster di sini juga, Majid namanya," kata Juna sambil menyodorkan tangannya.
"Angkasa aja," sahut Angkasa ambil membalas jabatan tangan Juna. Jangan sok asik manggil Asa, kali. Baru juga ketemu! Ini Keenan ngapain pake bawa nama kecil gue sih? batin Angkasa ngomel-ngomel sendiri.
"Oh? Lo Angkasa? Angkasa yang mau jadi script writer, kan?" tanya Majid dengan excited, "ini Angkasa, Jun, yang script-nya gue sama Refal suka banget."
"Oh ... Anjir, sempit juga hidup. Elo kenapa deh, Bang, nulis script patah hati bisa bagus banget gitu? Kan podcast Bang Majid sama Bang Refal jadi makin menye-menye."
"Bangs*t, Juna! Akhlaq-less banget jadi manusia!"
Angkasa terkekeh sambil menjabat tangan Majid, "masih belajar sih gue. Biasanya cuman nulis-nulis di blog aja, ngisi waktu."
"Terus sekarang kenapa mau coba di ENM?"
"Hmm ... Pengen punya kegiatan baru," sahut Angkasa asal.
Juna mengangguk-angguk kecil, "bagus deh! Semoga Bang Asa -eh, Angkasa maksudnya, beneran bisa gabung sama ENM. Asli pas gue baca yah, script lo beneran realistis, Bang. Apa karena Abang gue baru ditinggal nikah ya jadi kerasa sakit pas baca cerita tentang gagal nikah?"
Majid yang mendengar celoteh Juna pun mulai panas sendiri. Ia segera menyentil jidat adik bungsunya sambil berkata, "pake toa Masjid aja sih, Jun, bilang ke semua orang kalo gue udah pacaran 5 tahun terus nggak jadi nikah."
"Sama dong, Jid?"
Seketika Juna dan Majid saling bertatapan. Angkasa tersenyum tipis, "baru aja sebulan yang lalu di-bailed out. Padahal udah siap ngelamar hahaha. Jadi 4 tahun ngapain ya gue? Latihan cari istri kali, ya?"
"Gue bingung, Sa, mau nanggepin apa. Antara seneng kalo Tuhan ternyata nggak cuman jahat sama gue atau harus semangatin lo," sahut Majid lirih.
"Santai aja, Jid. Gue aja bingung harus gimana."
Di tengah kecanggungan ini, Juna malah tersenyum lebar sambil berkata, "kalian berdua nggak buangin waktu kok, Bang. Buat ketemu yang terbaik emang nggak bisa diburu-buru. You're in the right track and trust me ... She's on her way."
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}